Green Canyon Pangandaran, sebuah surga tersembunyi di Jawa Barat, memikat ribuan pengunjung tiap tahun dengan pesona sungai Cijulang yang menembus goa, tebing batu purba yang menjulang, serta petualangan ekstrem seperti body rafting dan panjat tebing. Namun, di balik arus yang jernih dan gemuruh air terjun, tersimpan sejumlah risiko yang tak bisa diabaikan.
Keindahan Alam yang Rentan
Green Canyon terbentuk dari proses geologis jutaan tahun lalu yang menciptakan lorong sungai eksotis dengan formasi stalaktit dan stalagmit yang menawan. Penelitian Michael Abimanyu (2023) menegaskan bahwa kawasan ini layak menjadi bagian dari Geopark Nasional karena kekayaan geodiversity dan biodiversitasnya yang tinggi.
Namun, daya tarik geologi itu juga menyimpan risiko alami, mulai dari erosi tebing, longsor musiman, hingga peningkatan debit air secara tiba-tiba saat musim hujan. Akses menuju lokasi pun sebagian besar berupa jalur sungai dan gua, yang mempersulit evakuasi bila terjadi insiden.
Risiko Wisata Petualangan
Aktivitas seperti body rafting, panjat tebing, hingga menyusuri goa merupakan daya tarik utama Green Canyon. Sayangnya, minimnya edukasi keselamatan dan pengawasan standar operasional masih menjadi masalah. Berdasarkan temuan Firman Zulfikar dkk. (2017), sebagian besar pengunjung datang secara mandiri tanpa pemandu profesional, membuat risiko human error meningkat, terutama dalam aktivitas berisiko tinggi.
Selain itu, musim hujan dapat menyebabkan arus sungai meningkat drastis dalam waktu singkat. Kasus wisatawan terseret arus sempat beberapa kali terjadi dan menjadi alarm penting akan perlunya sistem early warning serta edukasi mitigasi bencana kepada pengunjung.
Dampak Ekologis dan Sosial
Tingginya tingkat kunjungan yang mencapai lebih dari 140 ribu orang per tahun memang menguntungkan secara ekonomi. Valuasi ekonomi oleh Zulfikar dkk. (2017) memperkirakan nilai potensi wisata Green Canyon mencapai Rp146 miliar per tahun, namun hanya sekitar 60,7% yang termanfaatkan secara aktual. Artinya, masih banyak ruang pengembangan, tapi juga risiko overcapacity dan degradasi lingkungan jika tidak dikelola hati-hati.
Sampah wisata, pencemaran air, dan gangguan ekosistem menjadi isu krusial. Di sisi sosial, potensi konflik kepentingan antar pelaku wisata lokal, serta ketimpangan manfaat antara pelaku besar dan UMKM lokal, harus dijawab dengan sistem tata kelola yang adil dan partisipatif.