Tragedi yang menimpa santri MTs Daarul Rahman Leuwiliang, Fadil (15 tahun), telah memicu keprihatinan publik dan memunculkan kembali diskusi mengenai sistem pengawasan di lingkungan pondok pesantren. Menanggapi stigma negatif yang mungkin berkembang, pihak pondok pesantren memberikan klarifikasi mendalam mengenai mekanisme pengawasan mereka, yang tetap berjalan bahkan saat para santri beristirahat.
Peristiwa penganiayaan yang terjadi pada 11 September dini hari, sekitar pukul 02.00--02.30 WIB, berlangsung di dalam kamar saat para santri, termasuk korban, sedang tertidur lelap. Pihak pondok pesantren menggarisbawahi bahwa jam tersebut merupakan "Jam Aman Istirahat," di mana pengawasan langsung di dalam kamar ditiadakan untuk menghormati privasi para santri.
Namun, ketiadaan pengawasan fisik secara langsung bukan berarti pondok lalai. Pihak Pondok Daarul Rahman menegaskan bahwa mereka menerapkan sistem pengawasan berlapis. Di satu sisi, ada guru dan santri senior yang bertugas jaga malam di pos-pos strategis di luar kamar. Di sisi lain, yang lebih krusial, pondok tidak pernah "tertidur" dalam hal pengawasan, karena seluruh area vital dipantau oleh media pengawasan digital (CCTV) yang aktif selama 24 jam non-stop.
"Ini adalah bagian dari adaptasi pesantren modern. Kami memahami keterbatasan pengawasan manusia secara fisik, terutama di jam istirahat. Oleh karena itu, CCTV menjadi mata digital kami yang tidak pernah lelah, memastikan setiap kejadian terekam dan dapat ditindaklanjuti," ujar seorang perwakilan pondok pesantren.
Justru melalui rekaman CCTV inilah, pihak pesantren secara proaktif dapat mengklarifikasi informasi awal yang simpang siur dan mengungkap fakta bahwa insiden tersebut adalah tindak penganiayaan personal antara dua santri seangkatan, bukan bullying atau pengeroyokan. Langkah ini menunjukkan bahwa sistem yang ada berfungsi tidak hanya untuk pencegahan, tetapi juga untuk penegakan kebenaran dan akuntabilitas pasca-kejadian.
Saat peristiwa ini diketahui sekitar pukul 03.00 WIB melalui laporan santri lain, respon cepat dari majelis guru yang langsung membawa korban ke rumah sakit juga menunjukkan bahwa prosedur darurat berjalan sebagaimana mestinya.
Kasus ini menjadi pengingat bagi publik dan para orang tua bahwa tantangan di dunia pendidikan berasrama sangat kompleks. Tragedi yang berawal dari konflik pribadi antar dua individu ini terjadi di luar prediksi dan di ruang yang paling privat. Namun, Pondok Pesantren Daarul Rahman telah menunjukkan komitmennya dengan tidak menutupi kasus, bersikap transparan dengan bukti CCTV, dan secara penuh mendampingi proses hukum yang kini ditangani Polres Cibinong Kabupaten Bogor.
Pihak pondok pesantren juga menegaskan bahwa insiden ini bukanlah kasus bullying atau pengeroyokan. Berdasarkan keterangan saksi dan bukti, kejadian ini murni melibatkan dua orang santri saja, keduanya seangkatan kelas 3. "Tidak ada keterlibatan kakak kelas, senior, ataupun pihak lain," ujar perwakilan pondok. Motif penganiayaan diduga berawal dari saling ejek secara berlebihan yang berujung pada dendam pribadi. Pelaku, AM, merasa tertekan karena postur tubuh korban yang lebih besar, dan akhirnya kalap. Saat korban tertidur, menghantamkan batu besar ke wajah korban dan memukul dengan besi. Bukti rekaman CCTV dan keterangan saksi memperkuat bahwa ini murni persoalan pribadi antara dua santri.
Insiden ini, meskipun sangat menyedihkan, seharusnya tidak menyurutkan kepercayaan masyarakat terhadap institusi pondok pesantren secara umum. Sebaliknya, ini menjadi momentum bagi semua pondok pesantren di Indonesia untuk terus memperkuat sinergi antara pengawasan tradisional yang bersifat mendidik dan pengawasan modern berbasis teknologi untuk menciptakan lingkungan yang lebih aman, tanpa mengorbankan nilai-nilai privasi dan kemandirian santri.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI