Mohon tunggu...
Ika Yuli Wulandari
Ika Yuli Wulandari Mohon Tunggu... -

I'm a student

Selanjutnya

Tutup

Healthy

Tarif INA CBGs JKN, Rasionalkah?

3 Januari 2015   05:38 Diperbarui: 17 Juni 2015   13:55 1200
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Kesehatan. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Schantalao

Program pemerintah Jaminan Kesehatan Nasional telah genap berjalan satu tahun. Namun seiring dengan pelaksanaannya masih terdapat banyak tanda tanya besar apakah program JKN ini akan survive ataukah program ini akan gagal.

Mari kita review sejenak dengan performance JKN selama tahun 2014 lalu. Dalam rangka starting up, JKN di tahun 2014 berusaha mengupayakan percepatan pembangunan di berbagai dimensi, mulai dari pembangunan infrastruktur, persiapan distribusi SDM, serta penetapan berbagai regulasi tentang pengelolaan keuangan maupun pengawasan terkait implementasinya. JKN gencar menjalin kerjasama dengan provider, melakukan perekrutan besar SDM, serta merevisi berbagai regulasi yang menuai kontroversi. Dari semua dimensi, hal yang paling krusial untuk diperhatikan adalah sistem pembayaran yang menyangkut tarif pelayanan kesehatan.

INA CBGs (Indonesia Case Based Groups) merupakan sistem pembayaran kepada RS sebagai pemberi pelayanan kesehatan (provider) yang dikelompokkan berdasarkan ciri klinis dan pemakaian sumber daya yang sama. Dalam hal ini, BPJS Kesehatan menentukan tarif berbentuk paket yang mencakup seluruh komponen biaya RS. Tarif ini berbasis pada data costing dan coding penyakit yang mengacu pada ICD (International Classification of Diseases) revisi 10 dan ICD-CM (ICD Clinical Modifications) revisi 9 yang disusun oleh WHO. Dalam ICD 10 tercantum diagnosis 14.500 kode dan ICD-CM 9 mencakup 7.500 kode penyakit. Tarif INA CBGs pun menyesuaikan dengan mencantumkan 1.077 kode penyakit yang terdiri dari 789 kode rawat inap dan 288 kode rawat jalan dengan berdasarkan tiga tingkat  keparahan.

Pemerintah mengklaim tidak akan ada perbedaan jumlah dan kualitas pengobatan yang diberikan kepada masyarakat dalam program JKN dengan diberlakukannya tarif INA CBGs. Tarif INA CBGs merupakan tarif paket berdasarkan pemakaian pelayanan kesehatan yang sudah mencakup semua biaya yang dihabiskan dalam pengobatan suatu penyakit yang telah dihitung total dari biaya obat, perawatan maupun operasi, sehingga pelayanan pada pasien pun sesuai standar. Standardisasi tarif diharapkan dapat meningkatkan mutu dan efisiensi RS dengan merubah cara pandang dan perilaku RS dalam mengelola dan memberikan pelayanan sehingga mampu mengendalikan RS untuk tidak melakukan prosedur tindakan yang tidak perlu terhadap pasien. Selain itu, dalam era JKN tidak akan ada lagi beda sistem dan besaran pembiayaan antara RS swasta dan RS pemerintah.

Di lain pihak, masyarakat yang kontra dengan tarif INA CBGs mengeluhkan bahwa sistem INA CBGs sangat membatasi pelayanan yang diberikan melalui batasan tarif untuk mengakses benefit yang ditawarkan. Mutu obat yang sebelumnya sudah benar dengan adanya sistem INA CBGs menjadi berantakan. Sebagai contoh, masyarakat yang mengidap penyakit kronis hanya mendapatkan obat untuk satu minggu, padahal mereka mendapatkan rujukan selama tiga bulan dan mendapatkan jatah obat untuk sebulan. Masyarakat tersebut harus bolak balik untuk mendapatkan obat padahal mereka diharuskan meminum obat seumur hidupnya.  Hal ini jelas tidak efisien dan merugikan masyarakat. Pihak yang sama yaitu RS swasta, juga banyak yang masih enggan bekerja sama dengan JKN. Mereka menganggap tarif INA CBGs dinilai masih terlalu rendah. Hal ini dianggap dapat menghambat mereka dalam memberikan pelayanan dimana mereka harus memberikan pelayanan kepada pasien tetapi pelayanan tersebut tidak tercakup dalam sistem INA CBGs. Hal ini jelas akan merugikan mereka.

Menanggapi beberapa kontra di atas, Pemerintah menangkal dan menjamin tidak ada pengurangan jumlah obat yang diberikan, keefektifan obat akan berlaku sesuai dengan berjalannya formularium nasional. Selain itu, pihak RS tidak akan mengalami keterbatasan anggaran karena justru RS akan mendapatkan untung bila menggunakan obat-obat generik dan menerapkan sistem rujukan. Pemerintah mengatakan jika RS swasta mau bekerja sama dengan JKN justru akan sangat membantu kenyamanan masyarakat dalam proses pelayanan dimana semakin banyaknya RS yang bekerja sama dengan JKN tentu akan mengurangi jumlah antrean pelayanan kesehatan di RS pemerintah.

Konflik tarif INA CBGs antar berbagai pihak sangat disayangkan. Pemicunya adalah kurangnya kolaborasi antar pihak yang berkepentingan. Masing-masing pihak menjalankan fungsinya masing-masing tanpa koordinasi. Revisi regulasi Permenkes No 69/2013 tentang Standar Tarif Kesehatan yang telah dilakukan, peningkatan jumlah premi Penerima Bantuan Iuran (PBI) yang telah menyesuaikan jumlah premi peserta mandiri kelas III, penambahan frekuensi sosialisasi tarif INA CBGs, serta berbagai upaya lain yang telah dilakukan akan sia-sia bila dalam prosesnya tidak melibatkan pihak-pihak yang berkepentingan. Sudah seharusnya antara pihak pemerintah dan swasta saling berangkulan demi mewujudkan masyarakat Indonesia yang sehat terlepas dari kondisi apakah program JKN ini akan survive ataukah program ini akan gagal.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Healthy Selengkapnya
Lihat Healthy Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun