Bulan Ramadan tahun ini masjid di belakang rumah saya masih menyelenggarakan sholat tarawih namun dengan syarat dan ketentuan berlaku, itu katanya. Â
Ya, saya tidak melihat dengan mata kepala sendiri  ataupun melalui mata Sauron yang menyala-nyala di Mordor namun dari mata kepala teman yang rumahnya bersebrangan dengan mesjid tersebut.
Tarawih memang selalu dirindukan oleh sebab itu di kondisi darurat seperti sekarang tetap saja ada orang-orang yang pergi ke mesjid walaupun sudah ada anjuran dari pemerintah untuk beribadah di rumah.
Dulu saat saya masih kecil sholat tarawih itu bikin galau. Â Senang karena bisa keluar malam sambil abring-abringan dengan teman tapi tidak senang dengan jumlah rakaat tarawih yang banyak dengan surat-surat nan panjang.
Tak ayal banyak anak-anak yang tak betah di dalam mesjid termasuk saya, bawaannya kalo gak kasak-kusuk ngobrol ya ingin melompat keluar karena diluaran sana ada tukang bakso menunggu dengan sajian acarnya yang menggoda. Â
Bila saja bakiak  bisa dijadikan portkey atau punya invisibility cloak ala Harry Potter, mungkin saya sudah bolak-balik mesjid - bakso - mesjid - es cingcau.
Eh tapi portkey dan invisibility cloak mungkin tak akan mempan karena mesjid itu memiliki 'malaikat' sebagai pengawasnya.
Apa? 'Malaikat'? Â
Iyak, sosok itu disebut 'malaikat' berdasarkan imajinasi liar anak-anak dilihat dari penampilannya. Beliaunya ini selalu mengenakan outfit jubah panjang nan misterius dan bersenjatakan kayu petunjuk papan tulis sebagai alat untuk mencepret anak-anak yang tak tertib. Â Sebagai 'malaikat' tugas beliau mengawasi bukan beribadah, eh.
Sebenarnya beliau adalah kakak dari pemilik masjid, dikenal sebagai sosok dengan kegalakan level hot jeletot. Suara menggelegar dan ekspresi ala Feni Rose-nya cukup membuat anak-anak mati kutu. Sekali cepret, anak-anak langsung jongkeng.
Bila ada yang ribut di mesjid hanya ada dua pilihan, diam atau diusir tapi tetap diselipi berbagai atraksi yang bikin hati ini mengkerut.