Mohon tunggu...
Ika RoihatulJannah
Ika RoihatulJannah Mohon Tunggu... Lainnya - Pelajar

Hadapilah kenyataan yang seakan-akan tidak ada jalan keluar darinya. Anda kelak akan menjumpai di dunia ini hal-hal yang Anda tidak mampu mengubahnya tetapi hanya mampu berinteraksi dengan-Nya dengan berbekal kesabaran dan iman.

Selanjutnya

Tutup

Filsafat

Filsafat Pragmatisme

31 Mei 2020   07:34 Diperbarui: 31 Mei 2020   07:53 122
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Filsafat. Sumber ilustrasi: PEXELS/Wirestock

Bismillah senantiasa terucap mengiringi setiap langkah penulis. Dan juga ungkapan kata syukur Alhamdulillah tak pernah lupa penulis haturkan kepada Allah SWT.  Sehingga penulis dapat menyelesaikan artikel mengenai pemahaman penulis tentang filsafat aliran Pragmatisme. Artikel ini pastinya masih jauh dari kategori sempurna. Oleh sebab itu, penulis sangat mengharapkan kritik dan saranya yang membangun.  Agar kedepanya dapat membuat sebuah artikel yang lebih baik.

Pragmatisme adalah suatu aliran dalam filsafat yang menganggap sesuatu bisa dikatakan benar apabila sesuatu tersebut bisa membuktikan akan kebemaranya tersebut, dengan mempertimbamgkan akibat-akibatnya secara paktis serta memiliki kebermanfaatan. Aliran ini dipelopori oleh William James dan John Dewey. Aliran ini, sangat berpegang teguh dengan logika pengamatan. Aliran pragmatisme dapat menwrima segala sesuatu asalkan membawa akibat yang praktis. Misalnya, kebenaran akan hal-hal yang mistis dapat diterima asalkan membawa akibat yang secara praktis memiliki manfaat. Dengan demikian, dapat kita simpulkan bahwa patokan aliran pragmatisme adalah manfaat hidup pragtis.

Adapun tokoh-tokoh yang terlibat dalam aliran ini diantaranya yaitu:

1. William James
William James merupakan seorang filsuf yang berasal dari Amerika Serikat dan menjadi dosen di Hardvard University dalam mata kuliah anatomi, fisiologi, psikologi, dan filsafar. Dalam karyanya yang berjudul " The Meaning of Truth: A Sequel to Pragmatism" William James mengemukakan bahwa tidak ada kebenaran yang haqiqi, yang bersifat tetap, yang berdiri sendiri, terlepas dari segala bentuk akal yang mengenal. Sebab, pengalaman-pengalaman yang kita alami akan berjalan terus, dan segala sesuatu yang kita anggap benar dalam perkembangan pengalaman tersebut akan senantiasa mengalami perubahan, karena dalam prakteknya apa yang kita anggap benar, bisa dikoreksi dengan pengalaman selanjutnya. Maka dari itu, tidak ada kebenaran yang bersifat mutlak, yang ada hanyalah kebenaran-kebenaran, yaitu apa yang benar dalam pengalaman-pengalaman tertentu, yang setiap kali dapat diubah oleh pengalaman yang berikutnya.

2. John Dewey
John Dewey lahir di Baltimore dan kemudian menjadi guru besar di bidang filsafat dan pendidikan di universitas-universitas Minnesota, Chivago, yang kemudian berakhir di universitas Columbia. Menurut John Dewey, penyelidikan adalah transformasi yang terawasi dari keadaan yang tidak menentu menjadi suatu keadaan yang menentu. Penyelidikan berkaitan dengan penyusunan kembali pengalaman yang dilakukan dengan sengaja. Berkaitan dengan hal tersebut, yang dapat dikatakan benar ialah sesuatu yang pada akhirnya disetujui oleh semua orang yang menyelidiki. Kebenaran bukanlah hal yang dalam sekali ditentukan, kemudian tidak dapat diganggu gugat, karena dalam prakteknya, kebenaran itu memiliki nilai fungsional yang tetap. Pada dasarnya, segala sesuatu yang kita anggap benar, pada akhirnya juga akan bisa berubah.

3. Charles S Peirce
Charles S Peirce adalah seorang filsuf yang lahir di Cambridge, Massachusetts. Dididik senagai seorang kimiawan dan bekerja sebagai ilmuwan selama 30 tahun. Namun, sebagian besar pemikiranya ia curahkan dalam bidang logika, matematika, filsafat, semiologi, dan penemuanya mengenai persoalan dalam pragmatisme yang sangat dihormati hingga saat ini. Menututnya, logika adalah penangkal dalam pemikiran filsafat.

4. Heraclitus
Heraclitus merupakan salah seorang tokoh dalam filsafat Yunani Kuno yang memiliki sifat dan pandangan yang berbeda dari para filsuf yang lain. Heraclitus dikenal dengan sifatnya yang tinggi hati dan juga sombong. Ia juga tidak tergolong dalam madzhab apapun. Dalam karyanya, ia justru banyak mengkritik dan mencela para filsuf dan tokoh-tokoh yang terkenal. Selain mencela filsuf-filsuf, ia juga sering memandang rendah rakyat yang bodoh dan menegaskan bahwa sebagian besar manusia memiliki sifat yang jahat. Heraclitus mengemukakan bahwa segala seuatu itu selalu berubah-ubah. Salah satu ungkapanya yang terkenal adalah "Panta rhei kai uden menci" yang artinya segala sesuatu itu mengalir bagaikan arus sungai, dan tidak ada seorang pun yang dapat masuk kedalam sungai yang sama untuk kedua kalinya. Karena sungai yang pertama telah mengalir digantikan oleh air yang dibelakangnya. Begitu juga dengan dengam segala sesuatu yang ada, tidak ada  yang tetap pada akhirnya semua akan berubah.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Filsafat Selengkapnya
Lihat Filsafat Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun