Rekontruksionisme dapat diartikan "menyusun kembali". Dalam konteks pendidikan, aliran rekontruksionisme adalah suatu aliran yang didalamnya berusaha merubah semua tatanan yang sudah ada menjadi tatanan baru yang lebih bercorak modern. Pada prinsip pahamnya, aliran rekontruksionisme sama dengan aliran parenialisme, yaitu sama-sama menyatakan tentang krisis kebudayaan modern.
Meski demikian, prinsip yang dimiliki oleh aliran Rekontruksionisme tidak sama dengan prinsip yang ada pada aliran perenialisme. Keduanya memiliki cara yang berbeda dalam memecahkan masalah yang dihadapi untuk mengembalikan kebudayaan yang sesuai dalam setiap masa dalam kehidupan.Â
Parenialisme memiliki cara sendiri, yaitu dengan kembali pada kepercayaan-kepercayaan kebudayaan yang ada pada zaman kuno dan abad pertengahan. Sedangkan aliran rekontruksionisme melaluinya dengan jalan berupaya membina konsesus yang paling luas dan paling mungkin tentang tujuan pokok dan tertinggi dalam kehidupan umat manusia.
Rekontruksionisme merupakan kelanjutan dari aliran Progresivisme yang mana didalamnya menginginkan kondisi manusia pada umumnya harus diperbaiki. Gerakan tersebut lahir didasarkan atas suatu anggapan bahwa kaum progresif hanya memikirkan dan melibatkan diri dengan masalah-masalah yang ada di masyarakat pada saat ini.
Adapun tokoh yang mempelopori aliran Rekontruksionisme adalah John Dewey yang memandang pendidikan sebagai ajang untuk melakukan perubahan  dalam menghadapi persoalan-persoalan dalam kehidupan. Yakni dengan menyesuaikannya menurut situasi yang ada menggunakan pemikiran yang inovatif dan kreatif. Sedangkan tokoh-tokoh yang mendukung adanya aliran ini diantaranya yaitu Caroline Pratt, George Count & Harold Rugg, John Hendrik, dan Muhammad Iqbal.
George Count & Harold Rugg sebagai tokoh yang menggerakan aliran rekontruksionisme, ingin membangun masyarakat baru yang dipandang pantas dan adil. George Count dalam karyanya yang berjudul "Dare the School Build a New Social Order" mencantumkan keinginanya untuk menjadikan pendidikan sebagai sarana rekontruksi bagi masyarakat.
Rekontruksionisme memandang kurikulum sebagai problem sentral dimana pendidikan harus menjawab pertanyaan beranikah sekolah membangun orde sosial yang baru.
Dengan begitu, tujuan utamanya dapat kita raih melalui kerjasama antar sesama tanpa memperdulikan adanya perbedaan suku asal, warna kulit, dan kepercayaan agar kesejahteraan, kedamaian, keadilan, dan kemakmuran di tatanan masyarakat akan terwujud.
Serangkain ungkapan rasa syukur Alhamdulillah yang senantiasa penulis haturkan pada sang Ilahi Rabbi. Dengan rahmatnya penulis dapat berbagi pemahamanya mengenai filsafat aliran rekontruksionisme dalam bentuk serangkaian tulisan ini.
Para pembaca yang dirahmati oleh Allah, penulis mohon maaf apabila terdapat kesalahan kata dalam penyampaian materi. Maka dari itu, penulis sangat mengharapkan kritik serta saranya yang membangun dari pembaca. Guna dapat menghasilkan tulisan artikel yang lebih baik kedepanya.Â