Mohon tunggu...
Ika Maya Susanti
Ika Maya Susanti Mohon Tunggu... Penulis lepas dan pemilik blog https://www.blogimsusanti.com

Lulusan Pendidikan Ekonomi. Pernah menjadi reporter, dosen, dan guru untuk tingkat PAUD, SD, dan SMA. Saat ini menekuni dunia kepenulisan.

Selanjutnya

Tutup

Lyfe Artikel Utama

Mereka yang Berjuang Mendapatkan Pendidikan Layak Meski Memiliki Keterbatasan Ekonomi

18 Juli 2025   08:23 Diperbarui: 21 Juli 2025   01:03 203
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi-- Pendidikan Indonesia. (KOMPAS/HERYUNANTO)

Adakah dari Kompasianers di sini yang akhir-akhir ini sering memerhatikan konten-konten Instagramnya Pak Imam Santoso di @santosoim? Beliau ini adalah dosen Metalurgi di Institut Teknologi Bandung. 

Beberapa waktu terakhir, beliau kerap membagikan konten-konten tentang bagaimana anak-anak dari kondisi ekonomi bawah, namun nyatanya tetap bisa kuliah. Anak-anak ini mendapat bantuan beasiswa dari berbagai pihak.

Tentunya, anak-anak tersebut rata-rata memiliki keistimewaan. Banyak dari mereka yang berpresasi dan kerap menjadi juara berbagai macam lomba. Ada juga yang sejak di bangku sekolah sudah berusaha mencari uang untuk membiayai sekolahnya sendiri.

Pokoknya kalau main ke Instagramnya bapak ini, hati-hati, banyak ranjau bawang merah di konten-kontennya!

Sumber foto: Instagram @santosoim
Sumber foto: Instagram @santosoim

Kisah Kawan Asal Minang yang Sukses S2 S3 hingga ke Luar Negeri

"Saya tuh Bu setiap makan ini, rasanya mau nangis. Dulu saya pernah minta sama bapak saya tapi nggak dikasih. Alasannya katanya mahal, nggak ada duit!"

Saya ingat betul ekspresi teman saya tersebut. Dia sedang makan kepingan biskuit marine. Menggigit keping demi kepingnya dengan penuh penghayatan. 

Baginya, biskuit yang ada di tangannya saat itu adalah makanan mewah di masa kecilnya. Sedangkan bagi saya, sejak kecil biskuit itu malah kerap saya nikmati sebagai camilan yang bisa kapan saja saya makan.

Jujur, saat itu saya merasa terkejut. Kesenjangan urusan camilan itu membuat saya berpikir, memang seberapa parahkah ekonomi kawan saya ini!

Jadi ceritanya dulu waktu itu, saya masih mengajar di sebuah perguruan tinggi di Batam. Ada beberapa kawan asal daerah Minang atau Sumatera Barat yang akan saya ceritakan dalam tulisan ini. Mereka sama dengan saya, pengajar MKDU atau Mata Kuliah Dasar Umum. Saya pengampu mata kuliah Kewarganegaraan dan Bahasa Indonesia, sedangkan dua kawan saya ini pengampu dan pengajar Bahasa Inggris.

Saya dan teman-teman MKDU. Sumber foto: dokumen pribadi
Saya dan teman-teman MKDU. Sumber foto: dokumen pribadi

Selama satu ruangan kerja, kerap saya mendengar cerita-cerita masak kecil mereka yang begitu penuh perjuangan. Sekolah dengan berjalan kaki jauh sampai naik turun bukit, sepatu yang koyak dan tidak bisa segera diganti dengan yang baru, tas yang sobek dan talinya putus namun tetap harus dipakai, adalah cerita-cerita masa lalu mereka yang kerap saya dengar.

Kini, mereka sudah sama-sama berkeluarga. Sama-sama sedang menempuh pendidikan S3 dengan beasiswa di Australia. Dan sama-sama membawa keluarganya masing-masing untuk bisa mencicipi kehidupan dan pendidikan di luar negeri.

Kalau mengingat bagaimana kisah pilu masa kecil mereka, rasanya saya jadi ikut senang setiap melihat kabar mereka terkini di media sosial. Mereka adalah dua dari sekian banyak orang yang sudah membuktikan bahwa keterbatasan ekonomi tak bisa menghalangi mereka dalam meraih mimpi yang tinggi.

Kesamaan Pola dari Orang yang Sukses Meraih Mimpinya

Kalau saya mengingat kisah kedua kawan saya tadi, juga konten-konten yang sering saya lihat dari anak-anak di Instagramnya Pak Santoso, ada kesamaan pola yang bisa saya temui.

1. Kekayaan literasi bisa mengubah cara pandang terhadap masa depan

Saya pernah berdiskusi dengan suami tentang mengapa banyak orang Minang sukses. Jadi kalau saya perhatikan ritme pada teman-teman saya yang kebanyakan asal Minang waktu dulu, mereka rata-rata hobi membaca.

Dari membaca itulah, mereka jadi tahu kalau ada orang yang sebelumnya ekonominya sulit, akhirnya bisa kuliah hingga S3 bahkan di luar negeri. Kegiatan membaca juga membuat wawasan seseorang jadi lebih luas. Hingga akhirnya berpengaruh pada cara pandang terhadap masa depan serta motivasi untuk menyikapi keterbatasan yang ada.

2. Buat mimpi yang tinggi, kejar pendidikan yang baik, dan abaikan kondisi ekonomi

Selama saya berteman dengan kawan-kawan asal Minang di ruang MKDU, selain kisah pilu mereka sewaktu kecil dulu, kami pun sering terlibat dalam obrolan tentang mimpi-mimpi mereka. Ada yang punya mimpi bisa jalan-jalan ke luar negeri. Ada juga yang punya mimpi bisa punya bisnis kos-kosan.

Beberapa tahun kemudian, mimpi mereka satu per satu terwujud. Padahal jika dilihat ke belakang, rasanya tak mungkin bisa terjadi jika melihat kondisi ekonomi keluarga mereka. Tapi sejak kecil sepertinya mereka tak pernah merasa bahwa kondisi ekonomi yang ada saat itu akan terus berlaku hingga ke masa depan.

Meski awalnya S1 di Universitas Andalas, bukan seperti kebanyakan orang yang menganggap lulusan universitas dari Jawa atau luar negeri yang bakal memiliki masa depan cerah, toh nyatanya saat mereka mengajukan beasiswa dari luar negeri, mereka bisa mendapatkannya.

3. Tidak usah malu melakukan usaha apapun asal halal

Salah satu dari kawan yang saya kenal tersebut pernah menceritakan pengalamannya saat S2 di Australia. Selama menempuh beasiswa di sana, ia kuliah sambil bekerja ini itu. Mulai dari asisten rumah tangga hingga kasir toserba. 

Penghasilannya yang lumayan, lalu ia wujudkan ke dalam aset properti sekembalinya ke Indonesia. Ia mewujudkan mimpinya dalam bisnis usaha kos-kosan di Batam.

Bekerja apapun dengan giat asal halal ini sudah menjadi budaya yang mereka lakukan sejak kecil. Jadi saat mereka masih belia, mereka pun sudah terbiasa melakoni ini itu yang halal untuk bisa mendapatkan uang. 

Saat menjadi dosen pun, mereka mengajar hingga larut malam, bahkan hingga lintas kampus.

4. Orangtua yang menyertai dengan semangat dan doa

Nah, ini mungkin poin paling gongnya. Yang saya salut dari kawan-kawan saya dan anak-anak yang ada di kontennya Pak Santoso adalah bagaimana orang tua menyertakan doa dan semangat bagi anak-anaknya. Padahal secara logika, mereka tak bakal sanggup membiayai anak-anaknya untuk bisa menuntut ilmu hingga ke bangku kuliah.

Hal ini juga pernah saya alami sewaktu dulu dinyatakan lulus tes perguruan tinggi negeri, atau yang waktu itu istilahnya UMPTN. Saat itu di tahun 1999 adalah masa reformasi dan krisis ekonomi. 

Saya sangat tahu dan sangat paham kondisi ekonomi orang tua yang saat itu sedang terpuruk dan tak semapan seperti waktu saya kecil. Awalnya orang tua meminta saya bekerja dulu. Tapi saya tetap nekat ikut ujian. Modal belajarnya dari dua buku latihan soal yang saya beli di Pasar Bekas Blauran Surabaya. Saya membaca buku tersebut sambil membantu ibu membuat jajan jepit untuk dijual di toko-toko sekitar.

Jadi ketika dinyatakan lulus, kami pun bingung uang dari mana untuk biaya kuliah. Akhirnya ibu berangkat ke Gresik, menjualkan beberapa kostum tari Bali yang saya miliki sejak kecil. Karena baju itu terbuat dari kulit asli, harganya pun cukup lumayan.

Seiring waktu saat saya masuk kuliah, ternyata ayah dan ibu mendapatkan pekerjaan baru. Padahal saat itu usia mereka sudah berusia di atas 40 tahun. Saya pun akhirnya bisa lulus kuliah dengan biaya dari mereka berdua.

Jadi sekarang kalau ada orang tua yang ekonominya minim, mohon, jangan patahkan mimpi anak-anak yang ingin melanjutkan pendidikan hingga tinggi. Kita tidak pernah tahu kemudahan apa yang akan Tuhan berikan saat kita selalu terus berjuang. 

Akan selalu ada jalan bagi siapapun yang bersungguh-sungguh. Karena pendidikan tinggi dan berkualitas adalah peluang jalan mengangkat derajat seseorang ke tempat yang lebih baik.

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Lyfe Selengkapnya
Lihat Lyfe Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun