Mohon tunggu...
Ika Maya Susanti
Ika Maya Susanti Mohon Tunggu... Penulis - Penulis lepas dan pemilik blog https://www.blogimsusanti.com

Lulusan Pendidikan Ekonomi. Pernah menjadi reporter, dosen, dan guru untuk tingkat PAUD, SD, dan SMA. Saat ini menekuni dunia kepenulisan.

Selanjutnya

Tutup

Diary

Berita Pamrih

29 Mei 2022   09:00 Diperbarui: 29 Mei 2022   09:05 55
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber foto: jclk8888 - Pixabay

Meskipun saya pernah mengalami hal tidak mengenakkan karena dimarah-marahi oleh narasumber, kepanasan sampai kehujanan saat meliput, namun bukan itu semua yang membuat saya pertama kalinya sampai pernah terpikir untuk mundur dari profesi reporter. 

Ketika belum genap setengah tahun saya menjalani profesi reperter, saya memang pernah terpikir untuk mundur hanya karena muak dengan ulah beberapa narasumber yang bertingkah macam-macam untuk diliput!

Sampai-sampai kadang menurut saya, bukan narasumber yang susah untuk diwawancarailah yang merupakan tipe orang sulit. Melainkan, narasumber yang sadar diri untuk diliput lah yang terkadang membuat kita pusing jika harus bertemu dengan mereka.

Awal-awalnya, saat media tempat saya bekerja baru berdiri, saya dan teman-teman reporter kerap kesulitan mewawancarai orang karena mereka takut akan berkomentar yang salah atau justru, takut jika nanti malah dimintai uang. 

Tapi lambat laun, justru makin banyak lho masyarakat yang sadar diri untuk bicara, ingin didengarkan, ingin diperhatikan, ingin diliput, ingin ditulis namanya, dan ingin diberitakan! 

Biasanya nih, yang seperti itu jadi makanannya teman-teman reporter yang ada di bidang politik atau kota. Yang namanya politikus, anggota dewan, pengamat politik, sampai LSM, kebanyakan dari mereka kerap merasa adalah orang penting yang patut untuk didengar ucapannya, dicatat namanya, dan diberitakan. 

Cara mereka juga macam-macam. Ada yang kalau lihat reporter langsung mendekati dan bicara sambil merasa pastilah apa yang mereka omongkan akan dicatat atau direkam. Atau, sampai ada juga yang punya inisiatif untuk menelepon si reporter dan kemudian selanjutnya teman-teman saya yang kebetulan ketiban sampur tersebut harus siap menahan panasnya telinga akibat lamanya si narasumber tak diingginkan itu bicara berbuih-buih.

Sampai-sampai, kerap saya dengar teman-teman saya itu harus mengakalinya dengan cara berkelit yang cerdas. Misalnya, langsung buru-buru beranjak jika insting mereka sudah berkata ada narasumber sadar diri yang ingin diliput, sampai membiarkan telepon yang berdering untuk tidak diangkat dan kemudian dikemudian hari mengaku merasa tidak pernah dihubungi! 

Uniknya, si narasumber tidak tahu diri ini kerap berulah jika sedang terjadi musibah. Misalnya, sewaktu itu sedang ada peristiwa tsunami di Aceh, gempa di Jogja, atau kebakaran di ruli alias rumah susun, mereka pasti punya inisiatif untuk menelepon kantor media tempat saya bekerja, atau bahkan langsung ke nomor ponsel reporter yang mereka kenal.

Selanjutnya ya tentu saja, mereka minta diliput, minta dicatat namanya berikut bentuk dan besar bantuan yang mereka keluarkan. Lebih-lebih lagi, mereka terkadang juga minta untuk difoto dan dimuat foto mereka yang sedang berpose menyerahkan bantuan atau sedang membereskan bantuan milik mereka yang akan mereka sumbangkan.

Musibah membawa berkah untuk mereka yang ingin mencuatkan nama ini kerap saya amati selalu saja terjadi. Bahkan, suatu ketika saya pernah terlilit pusing gara-gara menghadapi sebuah pihak hotel yang terlanjur memasukkan sop buntut ke dalam perut saya!

    

Ceritanya kala itu seperti biasa, saat musibah terjadi di suatu tempat, saya termasuk reporter yang dimintai tolong untuk meliput kejadian dari sebuah pihak yang sudah memberikan bantuan. Awalnya sih saya diminta datang untuk diajak makan siang. Konon, ada berita menarik yang ingin mereka sampaikan kepada saya.

Karena waktu itu saya berada di bidang peliputan kuliner, saya pikir, ah, kebetulan sekali nih bisa dijadikan bahan untuk mengisi berita leisure. Namun ketika saya datang ke restoran dari hotel tersebut, sampai pada kejadian sop buntut terhidang di depan saya, saya malah dihadapkan pada paparan berita bahwa pihak hotel tersebut sudah memberikan bantuan ke para korban tsunami di Aceh, sebesar sekian rupiah, dari gaji para karyawan di hotel tersebut, hingga ujung-ujungnya... "Tolong ditulis di korannya yah!"

Langsung saja mata saya membeliak sambil tersenyum, memandangi sop buntut yang sudah terhidang di depan saya dan telah siap dipersilakan untuk dinikmati. "Jadi, unsur sop buntutnya untuk upah agar berkenan menuliskan berita bantuan ya?" pikir saya dengan hati terus menahan tawa.

Urusan sop buntut itupun makin keruh ketika ternyata pihak redaktur saya tidak berkenan untuk menaikkan berita tersebut. Alasannya, karena pemberian bantuan itu toh atas inisiatif pihak hotel itu sendiri dan tidak melalui media tempat saya bekerja. Lagipula, sisi human interestnya pun tidak ada sama sekali.

Dan keesokan harinya, gantilah manajer pemasaran hotel itu yang uring-uringan. Menelepon saya, menelepon pihak kantor saya, dengan maksud inti, menuntut agar apa yang ia sampaikan kepada saya itu menjadi berita yang termuat di surat kabar!

Di tengah-tengah pusing sekaligus ingin tertawa kala melihat realita begitu banyaknya masyarakat yang sadar untuk diliput karena telah memberikan bantuan untuk korban tsunami Aceh, kala itu saya dihenyakkan oleh kabar sebuah truk berisi bantuan yang terguling sebelum sampai di tangan yang membutuhkan. 

Entah kenapa, langsung saja pikiran saya melayang kepada mereka-mereka yang telah mendahulukan unsur publikasi di tengah-tengah aksi memberikan bantuan. Apa iya bantuan dalam truk yang terguling itu berasal dari harta mereka yang telah berpikir pamrih atas adanya musibah ya!

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Diary Selengkapnya
Lihat Diary Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun