Karena bagi saya, kerja publik itu bukan sekadar pekerjaan. Ia tanggung jawab intelektual.
Kita dibayar oleh uang rakyat, dan itu artinya setiap hasil kerja kita harus bisa diuji secara rasional, bisa dipertanggungjawabkan secara etis, dan terasa manfaatnya di luar meja kerja kita.
Maka, saya merasa paling hidup ketika melihat hasil pemikiran saya dipakai oleh lebih banyak unit kerja lain. Ketika tulisan atau konsep yang saya susun dijadikan pedoman, diadaptasi, bahkan dimodifikasi oleh orang lain.
Di situ saya tahu, kerja saya punya gema.
Bahwa waktu yang saya habiskan di depan laptop itu bukan hanya rutinitas, tapi kontribusi.
Namun, saya juga harus jujur pada diri sendiri.
Saya masih sering terburu-buru.
Masih ingin semua selesai dan segera terasa dampaknya.
Barangkali karena hampir 25 tahun saya hidup di atmosfer birokrasi yang diwarnai sense of urgency palsu: setiap hal mendesak, tapi tak semuanya penting.
Akibatnya, saya sering frustasi.
Ketika ide bagus tidak segera dipahami. Ketika usulan matang dibungkus senyum birokratis tapi diam-diam dilupakan.
Kadang saya jadi apriori: "Ah, percuma. Nanti juga mentok di meja yang sama."
Tapi di tengah kelelahan itu, saya belajar.
Bahwa keberanian bukan berarti gegabah.
Bahwa kecepatan bukan selalu bukti kemajuan.
Dan bahwa orang yang berpikir lebih cepat, punya tanggung jawab moral untuk membantu yang lain sampai ke titik yang sama. Bukan meninggalkan mereka di belakang.
Pelan-pelan saya menyusun sebuah blueprint kecil.
Bukan dokumen resmi, tapi semacam peta batin untuk menjaga arah agar tidak kehilangan makna.
Isinya sederhana, tiga nilai utama yang saya yakini mutlak dalam kerja publik:
- Publik harus tahu bahwa mereka punya yang mengurus.
Bahwa di balik setiap layanan, ada manusia yang berpikir, bukan sekadar menjalankan SOP. - Publik harus percaya bahwa uang mereka berada di tangan yang tepat.
Bahwa integritas bukan jargon, tapi perilaku sehari-hari yang bisa dilihat dari hasil kerja kita. - Publik harus merasa bahwa kehadiran pemerintah itu valid dan terjamin.
Bahwa mereka berhak merasa aman, bukan karena diberi janji, tapi karena melihat bukti.
Tiga nilai itu mungkin terdengar sederhana. Tapi bagi saya, itulah inti dari semua hal yang kita sebut "kerja ASN".
Tanpa itu, semua laporan hanya jadi angka, bukan makna.
Sekarang saya paham, mungkin memang saya tidak perlu memilih antara menjadi cepat atau sabar.
Saya hanya perlu memastikan bahwa keduanya berjalan beriringan. Cepat dalam berpikir, tapi sabar dalam menular.
Karena perubahan yang terburu-buru sering runtuh, tapi yang sabar biasanya bertahan.
Saya tak lagi merasa harus jadi orang pertama yang berhasil.
Saya hanya ingin jadi orang yang menyalakan lilin pertama, agar yang lain bisa melihat jalan, lalu berjalan lebih jauh.
Pada akhirnya, saya belajar bahwa pekerjaan publik bukan soal siapa yang paling sibuk, tapi siapa yang paling sadar mengapa ia bekerja.
Kita sering begitu fasih menulis "mensukseskan" (yang seharusnya 'menyukseskan') di baliho, tapi gagap ketika ditanya apa dampak nyata dari yang kita kerjakan. Padahal publik tidak menunggu spanduk, mereka menunggu kepastian bahwa uang mereka dikelola dengan pikiran yang jernih dan hati yang tulus.