Hari ini saya bahagia.
Bukan karena dapat penghargaan, bukan pula karena naik pangkat atau menang lomba. Tapi karena dua orang teman mengirim "laporan" bahwa mereka mulai menulis.
Bagi sebagian orang, mungkin ini sepele. Tapi bagi saya, ini semacam kemenangan kecil di tengah kerasnya dunia birokrasi yang lebih sering mendorong kita untuk bicara, tampil, dan tampil lagi---daripada diam, merenung, lalu menulis.
Dua teman itu bukan penulis. Mereka tak biasa menyusun narasi, mengolah diksi, apalagi bermain metafora. Tapi hari ini mereka mencoba. Menulis. Tanpa bantuan AI. Murni dari pikiran sendiri, meskipun masih singkat dan perlu tambahan insight, namun... jujur.
Saya terharu. Karena mereka memulai dengan cara yang tulus. Tidak instan. Tidak polesan.
Dan saya teringat sebuah kutipan yang sejak lama jadi mantra pribadi:
"Jika kamu bukan anak seorang raja, dan bukan anak seorang ulama besar, maka menulislah."
--- Imam Al-Ghazali
Kata-kata itu menampar dengan lembut. Menulis bukan hanya perkara mengisi waktu luang. Ia adalah ikhtiar untuk memperpanjang umur, mewariskan pikiran, dan melanggengkan jejak. Ia adalah cara untuk "diingat", ketika nama kita tak terpampang di plang kantor, atau tak masuk daftar pejabat struktural.
PNS dan Budaya Bicara
Selama ini, saya melihat kecenderungan khas di kalangan ASN: gemar berbicara. Rapat, paparan, sambutan, jumpa pers, podcast, webinar, dialog interaktif---semua dipenuhi dengan kata-kata lisan yang mengalir deras. Tapi begitu diajak menulis? Banyak yang ciut.
"Takut salah."
"Gak jago merangkai kata."
"Bingung mulai dari mana."
Atau alasan paling klasik: "Gak ada waktu."
Padahal, menulis bukan soal bakat, tapi soal membiasakan diri. Seperti otot yang perlu dilatih, menulis juga soal ketekunan, bukan sekadar kemampuan.