Mohon tunggu...
Iis Susiawati Abdullah
Iis Susiawati Abdullah Mohon Tunggu... Praktisi Pendidikan

Pendidikan, Agama dan Lingusitik

Selanjutnya

Tutup

Bahasa

Bahasa dan Pikiran: Ketika Kata Menjadi Cermin Jiwa

16 Juni 2025   19:20 Diperbarui: 16 Juni 2025   20:45 45
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bahasa erat kaitannya dengan kondisi psikologis

Bahasa dan Pikiran: Ketika Kata Menjadi Cermin Jiwa

Bahasa dan psikologi adalah dua dunia yang saling berkait erat. Di balik setiap kalimat yang kita ucapkan, tersimpan proses mental kompleks yang bekerja dalam sunyi. Dari memori, perhatian, hingga emosi, semua turut terlibat dalam produksi dan pemahaman bahasa. Gabungan antara linguistik dan psikologi ini melahirkan cabang ilmu tersendiri yang disebut psikolinguistik---ilmu yang mengkaji bagaimana bahasa diproses, dipelajari, dan disimpan dalam otak manusia.

Bahasa bukan sekadar alat komunikasi. Ia adalah bagian dari aktivitas mental. Ketika seseorang berbicara, otaknya tidak hanya menyusun kata, tetapi juga memproses makna, mengingat konsep, memilih intonasi, hingga menyesuaikan emosi. Dengan kata lain, bahasa adalah ekspresi dari pikiran yang sedang bekerja. Bahkan, psikologi perkembangan menunjukkan bahwa proses anak mempelajari bahasa mencerminkan kemajuan dalam fungsi kognitif mereka.

Psikolinguistik mencoba menjawab pertanyaan-pertanyaan mendasar: bagaimana manusia bisa berbicara? Bagaimana kita memahami makna dari suara yang kita dengar? Bagaimana anak-anak bisa menyerap bahasa dengan cepat? Semua pertanyaan itu dijawab dengan pendekatan lintas bidang, menggabungkan neurosains, teori belajar, hingga analisis linguistik.

Dari sisi psikologis, proses berbahasa itu luar biasa. Produksi ujaran, misalnya, dimulai dari ide yang dibentuk dalam pikiran, diterjemahkan menjadi kata, dan akhirnya diubah menjadi suara oleh alat bicara. Wilayah otak seperti Broca's area berperan dalam produksi bahasa, sedangkan Wernicke's area bertanggung jawab atas pemahaman makna. Bahkan saat membaca, otak kita bekerja keras menerjemahkan simbol-simbol tulisan menjadi ide yang bermakna.

Bagaimana dengan anak-anak? Mereka belajar bahasa melalui imitasi dan interaksi sosial. Tokoh seperti Jean Piaget dan Lev Vygotsky menunjukkan bahwa bahasa dan kognisi saling tumbuh. Semakin berkembang cara berpikir anak, semakin kaya pula kemampuannya dalam berbahasa. Tak heran, peran lingkungan dan emosi sangat berpengaruh dalam pembelajaran bahasa.

Bahasa juga erat kaitannya dengan kondisi psikologis. Orang yang sedang gembira, sedih, atau cemas bisa terlihat dari pilihan kata dan intonasinya. Bahkan, bahasa juga dapat membentuk emosi seseorang. Kata-kata yang menyemangati, misalnya, mampu memunculkan motivasi dan optimisme.

Faktor psikologis lain seperti motivasi, rasa percaya diri, dan kecemasan sangat menentukan keberhasilan seseorang dalam mempelajari bahasa asing. Mereka yang percaya diri cenderung lebih berani mencoba, sedangkan yang diliputi kecemasan cenderung pasif dan enggan berkomunikasi. Di sinilah pentingnya pendekatan pembelajaran yang humanis dan komunikatif.

Gangguan psikologis pun bisa memengaruhi bahasa. Afasia, misalnya, adalah gangguan akibat kerusakan otak yang menyebabkan seseorang kesulitan bicara atau memahami bahasa. Disleksia mengganggu kemampuan membaca dan menulis, sementara mutisme selektif membuat seseorang "diam" dalam situasi sosial tertentu, meskipun ia mampu berbicara secara fisik.

Beberapa tokoh penting dalam kajian ini antara lain Noam Chomsky, yang meyakini bahwa manusia memiliki kemampuan bawaan untuk berbahasa. Jean Piaget mengaitkan perkembangan bahasa dengan tahapan berpikir, sementara Vygotsky menekankan peran bahasa dalam interaksi sosial dan perkembangan intelektual.

Dalam konteks pendidikan bahasa, pemahaman psikologis sangat krusial. Guru harus peka terhadap kondisi emosional siswa, memberi ruang untuk interaksi yang bebas tekanan, dan menciptakan lingkungan belajar yang menyenangkan. Media pembelajaran yang menyentuh aspek emosional, seperti video, musik, atau cerita, terbukti lebih efektif mengaktifkan proses belajar yang mendalam.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Bahasa Selengkapnya
Lihat Bahasa Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun