Sejenak Bersua: Memaknai Silaturahim di Tengah Kesibukan
“Barangsiapa yang ingin dilapangkan rezekinya dan dipanjangkan umurnya, maka hendaklah ia menyambung tali silaturahim.” Hadis Nabi Muhammad SAW
Sebuah Pertemuan Singkat yang Abadi
Pada era yang serba cepat ini, setiap menit terasa sangat berharga. Di antara tumpukan jadwal, rapat, perjalanan, dan urusan digital yang tak ada habisnya, waktu seolah jadi barang mewah. Lalu, bagaimana nasib silaturahim? Apakah ia mesti dikorbankan demi produktivitas? Apakah hubungan antar keluarga dan sahabat harus ditunda sampai waktu “longgar” yang entah kapan datangnya?
Padahal, dalam ajaran budaya dan agama, silaturahim bukan sekadar aktivitas sosial biasa, melainkan bagian dari pondasi kebahagiaan dan keberkahan hidup. Maka, mari kita bicarakan: bagaimana cara memanfaatkan waktu yang singkat untuk tetap menjaga silaturahim?
Mengapa Silaturahim Tetap Relevan?
Silaturahim bukan hanya warisan budaya atau perintah agama semata. Dalam konteks psikologi dan sosiologi, silaturahim adalah kebutuhan dasar manusia: menjalin relasi, diterima, merasa terhubung. Bahkan dalam dunia yang makin virtual ini, kerinduan akan pertemuan nyata tak pernah benar-benar padam.
Silaturahim terbukti mampu:
- Mengurangi stres dan meningkatkan ketahanan mental
- Menghidupkan nilai kebersamaan dan empati
- Menjadi sumber informasi dan solusi dari pengalaman hidup orang lain
- Memperpanjang usia (menurut penelitian psikologis dan medis)
- Membuka peluang dan memperkuat jejaring sosial dan ekonomi
Realita Hari Ini: Waktu yang Tak Pernah Cukup
“Saya mau silaturahim, tapi kapan?”
Itulah pertanyaan yang sering kita dengar, bahkan dari diri sendiri.