Mohon tunggu...
iis aryanti tri utami
iis aryanti tri utami Mohon Tunggu... Mahasiswa

Saya adalah seorang mahasiswa yang tertarik dengan dunia media.

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan

Propaganda Media Dalam Membangun Narasi Tunggal di Korea Utara

16 Juni 2025   15:33 Diperbarui: 18 Juni 2025   10:56 49
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Birokrasi. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/GARRY LOTULUNG

Kebebasan Pers merupakan hak yang telah diakui oleh hukum internasional. Hal tersebut mencakup pada pentingnya kebebasan pers dalam berekspresi serta kewajiban pemerintah untuk menjamin keamanan dan melindungi pers. Namun, apa jadinya jika dalam suatu negara tidak ada kebebasan bagi para pers dan media massa dipergunakan sebagai alat untuk membentuk persepsi sesuai dengan kepentingan para penguasa?

Media Massa di Korea Utara: Alat Propaganda Pemerintah

Korea Utara dikenal memiliki sistem politik yang sangat otoriter dan ekstrem. Kini dipimpin oleh Kim Jong-Un, dinasti Kim telah berkuasa selama lebih dari 100 tahun. Korea Utara mempertahankan nilai, watak, dan pemikiran nasionalnya tanpa banyak pengaruh dari negara lain. Korea Utara membuat narasi yang mengklaim bahwa negara mereka merupakan benteng atau perlindungan dalam melawan kapitalis barat yang dianggap kejam. Hal tersebut berpusat pada konsep Juche, yakni negara yang percaya dan bergantung pada kekuatannya sendiri.

Pemerintah mengendalikan segala aspek kehidupan warganya, termasuk akses informasi yang sulit untuk masuk atau keluar sebab dibatasi dan dikontrol dengan ketat. Hanya segelintir orang yang memiliki jabatan tinggi dapat mengakses jaringan global. Segala bentuk media massa yang telah terorganisir seperti televisi, surat kabar, buku, hingga radio digunakan untuk membangun citra positif dan menyampaikan pesan-pesan ideologis yang berulang dan bersifat mengkultuskan Kim Jong-Un juga para pendahulunya. Hal tersebut menyebabkan warga Korea Utara hanya menerima narasi resmi yang disiarkan langsung oleh pemerintah sehingga terbentuk persepsi bahwa Korea Utara merupakan bangsa yang paling unggul dari bangsa lainnya.

Media Massa Sebagai Alat Propaganda Dalam Perspektif Hypodermic Needle Theory

Kondisi Korea Utara sangat relevan dengan konteks komunikasi massa, yakni Teori Jarum Suntik atau Hypodermic Needle Theory. Annisa Eka Syafrina dalam bukunya Komunikasi Massa (2022), teori ini menjelaskan bahwa media massa memiliki pengaruh kuat dengan efek langsung "menyuntikkan" pesan ke dalam ketidaksadaran audiens. Media massa atau dalam hal ini pemerintah Korea Utara dianggap sebagai pihak yang lebih "pintar" dari audiens atau warganya sehingga warga mudah terpengaruh oleh propaganda yang diatur oleh pemerintah. Pesan atau propaganda di dalam media massa diibaratkan sebagai isi senapan yang langsung mengenai sasaran tanpa proses seleksi dan pemikiran kritis. Pemerintah menjadi satu-satunya sumber informasi yang sah dan dipercaya, sebab tidak ada ruang alternatif untuk mereka membandingkan, memilih atau berpikiran lebih luas. Oleh karena itu warga Korea Utara dapat diarahkan dan dibentuk persepsinya sesuai dengan kehendak Pemerintah.

Dampak Jangka Panjang dan Pengaruh Sosial dari Media yang Dikuasai Pemerintah

Pemerintah Korea Utara menjalankan kontrol total atas semua bentuk komunikasi dan media. Negara secara aktif menyaring, mengawasi, dan membatasi akses warga terhadap informasi, baik dari dalam maupun luar negeri. Internet publik tidak tersedia, yang ada hanyalah intranet domestik yang hanya memuat situs dan konten yang telah disetujui pemerintah. Semua perangkat teknologi harus terdaftar dan hanya dapat menjalankan aplikasi serta file yang sudah diverifikasi negara, kondisi tersebut tidak hanya berdampak pada cara masyarakat memandang pemimpin dan negara, tetapi juga membentuk pola pikir kolektif yang sulit diubah. Ketika negara menjadi satu-satunya sumber informasi, maka gambaran realistis yang diterima masyarakat hanyalah versi resmi yang telah dirancang dengan sangat hati-hati dan penuh perhitungan. Akibatnya, masyarakat tidak memiliki kesempatan untuk mengembangkan kemampuan berpikir kritis terhadap informasi yang mereka terima, karena mereka tidak pernah mendapatkan peluang untuk hal tersebut.

Dampak sosial dari situasi ini tampak jelas dari bagaimana rakyat Korea Utara menunjukkan loyalitas total kepada pemimpin mereka, bahkan hingga dalam bentuk pemujaan yang berlebihan menjadi norma sosial, hal tersebut diperkuat oleh narasi media yang menekankan patriotisme dan nasionalisme ekstrem. Selain itu, mereka juga dipenuhi rasa curiga dan takut terhadap dunia luar, hal tersebut dikarenakan sejak awal telah ditanamkan narasi bahwa negara lain, khususnya negara barat adalah musuh yang kejam dan tidak berperikemanusiaan. Dalam jangka panjang, hal ini menciptakan masyarakat yang terisolasi secara ideologi, budaya, bahkan dalam aspek kemanusiaan. Bagi generasi muda yang tumbuh dalam sistem seperti ini, mereka tidak pernah mengenal adanya sumber informasi alternatif selain yang telah ditetapkan negara. Sekolah dan media menjadi alat utama untuk menanamkan ideologi negara dari satu generasi ke generasi berikutnya. Akibatnya, sistem politik dan kontrol informasi menjadi sangat kuat karena sudah tertanam dan mengakar kuat sejak usia dini.

Kondisi Korea Utara ini menjadi gambaran ekstrem tentang apa yang terjadi ketika media kehilangan peran sebagai penyampai informasi yang berimbang dan berubah menjaadi alat kekuasaan semata. Kebebasan pers tidak hanya berkaitan dengan hak wartawan untuk menulis dan melaporkan berita, akan tetapi juga hak masyarakat untuk memperoleh informasi yang benar, beragam, dan tidak memihak.

Secara global, kondisi ini menjadi peringatan penting bagi negara-negara lain untuk senantiasa menjaga keseimbangan antara kebebasan pers dan pengaturan media. Meskipun negara berhak untuk menetapkan aturan, akan tetapi tetap harus ada ruang yang cukup bagi keberagaman suara dan pendapat. Jika kebebasan media sepenuhnya dibatasi atau dikendalikan, maka masyarakat akan kehilangan kemampuan untuk menilai dan memahami kebenaran secara mandiri.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun