Mohon tunggu...
Iin Indriyani
Iin Indriyani Mohon Tunggu... Novelis - Penikmat Keheningan

Penulis dan Buruh Migran Taiwan

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Ujian Jati Diri (Part.1)

25 November 2019   22:34 Diperbarui: 29 November 2019   11:50 117
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber: Radio Republik Indonesia

Dalam kebingungan, aku melihat seorang remaja berdiri di samping pintu masuk penyeberangan bawah tanah. Tanpa mengulur waktu, kudekati dia. 

“Maaf, saya mencari alamat ini, apakah kamu tahu, Dik?” Ku sodorkan ponselku ke depannya, dia meneliti alamat yang tertera di layar. Tak ada jawaban, di tengah kegusaran, aku berharap dia adalah malaikat yang membantuku malam ini. Ternyata, nihil. Tuhan masih menginginkan aku berjuang dengan keyakinanku seorang diri.

Hampir satu jam aku terjebak di sekitar jalan raya di tengah Kota Taichung. Taichung merupakan kota yang sangat strategis karena terletak di tengah negara Taiwan. Dengan wilayah yang cukup luas dan ramai, tentu saja kota ini menjadi titik para Bmi dalam mengisi waktu libur setiap pekannya. Bahkan dari wilayah Taiwan Utara dan Selatan pun tidak sedikit yang menghabiskan waktu libur mereka di kota ini. Apalagi jika menjelang Hari Raya Idul Fitri, seluruh kawasan stasiun, sepanjang jalanan kota sampai ke taman, dipenuhi buruh migran  dari Indonesia. Ya, beginilah kehidupan kami para Bmi di negara ini, meski kami tinggal di negara non muslim, berkat usaha saudara-saudari kami yang aktif di organisasi keagamaan di sini, kami selalu diberi ruang untuk merayakan acara-acara yang berkaitan dengan Agama Islam.

Ku buka kembali google map-ku. Layar ponsel yang semakin menyebalkan kulihat masih menunjukkan petunjuk yang sama. Asramaku sudah cukup dekat. Tetapi bagaimana aku harus menyeberangi jalan besar ini? Tidak ada zebra cross pun di depanku. Sial! Aku menggerutui diriku sendiri. Kenapa sepulang dari Asian Square bisa salah naik bis? Bodohnya, ini sudah kedua kalinya. Manusia berotak macam apa aku ini?

Aku kembali menatap pintu masuk penyeberangan bawah tanah yang bikin bulu kuduk merinding. Ya, aku yakin hanya ini jalan satu-satunya, agar aku tidak menyasar lebih jauh. Pintu itu mirip sekali dengan pintu masuk kereta bawah tanah saat aku merantau di negeri beton, Hongkong. Di dalam MTR negara super sibuk itu, orang-orang keluar masuk dengan langkah yang begitu cepat. Cahaya lampu terang benderang membuat pengguna lupa bahwa mereka sedang berada di ruang transportasi megah bawah tanah. Tetapi di dalam lorong penyeberangan bawah tanah di depanku ini, apa yang akan aku temukan? Seperti apa di dalamnya? Mungkin akan gelap sekali dengan aura mistis yang tinggi seperti terowongan Casablanca yang ramai diperbincangkan di negara asalku itu.

Kutepis segala pikiran negative di otakku. Tanpa berpikir lebih horror lagi, aku menuntun kedua kakiku memasuki pintu masuk lorong tersebut, “Bissmillaahirohmaanirrohiim..” Lengang, sunyi, aku berjalan beberapa meter dan belum aku temukan siapa pun di dalam sini. Aku bernapas lega, terowongan bawah tanah ini tidak begitu gelap dan menakutkan seperti yang aku pikirkan. Ada lampu penerangan meski tak benderang. Tetapi, aku melihat kasur-kasur dan barang-barang rongsok dari kejauhan. Hatiku mulai was-was. Adanya barang-barang tersebut menandakan ada kehidupan di dalam sini. Semakin jauh aku melangkah, semakin banyak sesuatu yang kutangkap. Tiga lelaki paruh baya berada di depanku. Dua orang tampak tertidur di atas kasur koyak mereka. Satu orang lagi berdiri menatap lekat ke arahku. Feelingku ternyata benar. Mereka adalah pemulung yang memang hidup di dalam sini. Udara terowongan yang kuhirup mulai berbau pesing. Aku pikir pemulung-pemulung itu memang sengaja buang air kecil di dalam sini karena malas untuk keluar.  

Jarakku dengan mereka sudah sangat dekat. Jantungku mulai berdegup kencang. Apakah mereka akan senang dengan kehadiranku atau malah sebaliknya. Apakah mereka orang-orang baik atau malah mantan napi yang keluar masuk penjara? Aku ingat cerita muslimah saat seorang gadis hendak melewati beberapa orang preman. Dia membaca Ayat Kursi hingga selamat dari godaan mereka. Aku pun langsung melantunkan Ayat Agung itu berharap Allah Swt melindungiku dari segala marabahaya. Atas izin Allah, aku berjalan begitu tenang di depan mereka. Aku sempat menatap satu persatu wajah-wajah kusut itu tanpa rasa takut sedikit pun. Aku mulai yakin, mereka memang orang baik yang kurang beruntung saja.

Di depanku ada dua lorong bercabang yang berlawanan. Kebingungan kembali melandaku, entah harus kulewati yang mana. Aku buka google map di ponsel, malah tak ada jaringan sedikit pun. Ah, sialnya malam ini! Sekali lagi Tuhan mengujiku untuk bermain dengan keyakinanku sendiri. Aku mengikuti kata hatiku untuk melangkah ke lorong kanan, tidak begitu jauh, akhirnya ada pintu keluar, tetapi aku tidak tahu ini pintu keluar yang benar atau salah. Setelah berada di luar, aku membuka kembali google map-ku, posisi asramaku semakin dekat terlihat. Aku berjalan mengikuti petunjuk arah. Reflek kutengok ke sebrang sana, aku melihat pintu terowongan penyeberangan dimana beberapa menit lalu, aku ragu memasukinya. Aku tertawa kecil, menertawai diriku sendiri yang begitu konyol. Di perjalanan menuju asrama, aku memikirkan orang-orang yang tinggal di dalam terowongan sana. Negara ini kurasa sudah cukup maju dan jauh dari garis kemiskinan. Apalagi di kota besar seperti ini. Aku tak menyangka akan menemukan kehidupan lain di samping permainya bumi Formosa yang kusinggahi. Apakah mereka sama sekali tak punya keluarga? 

Aku berlari sekencang mungkin mengejar sisa waktu yang ku punya. Karena pukul 22.00, lift bawah asramaku akan ditutup. Beruntung, masih ada orang Taiwan yang akan naik ke atas, aku bisa ikut naik bersama mereka. 

“Aku pikir kamu tidak pulang.” Sambut salah satu teman asramaku.

“Salah naik bis lagi. Aku harus muter-muter jalan kaki, lebih tepatnya, lari.” Jawabku, kulempar tas tanganku di atas kasur tipis yang warnanya tak lagi jelas.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun