Mohon tunggu...
M. Ihdan Nazar Husaini
M. Ihdan Nazar Husaini Mohon Tunggu... Lainnya - Mahasiswa Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta

Bekerja di District Filsafat Uinjkt

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Environmental Ethics in Post-Covied 19 Antrophocen Problem

31 Agustus 2023   06:00 Diperbarui: 31 Agustus 2023   06:45 96
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilmu Sosbud dan Agama. Sumber ilustrasi: PEXELS

Secara fundamental, manusia telah memasuki fase baru dalam kehidupan. Deforestasi lingkungan semakin buruk merupakan hasil dari persentuhan manusia dengan alam. Eksploitasi sumber daya alam berlebihan (overgrazing) benar benar telah menjadi katalisator tercemarnya kualitas tanah, air dan udara. hal tersebut terjadi atas dasar egoistik manusia yang membuat dirinya tenggelam sebagai penguasa despotis terhadap alam raya. Sehingga upaya rekonstruksi lingkungan tidak dapat dilakukan secara praktis dan etis saja, akan tetapi, upaya tersebut baru akan terealisasi jika menghidupkan kembali status ontologis yang ada pada alam.

Interelasi antara tuhan, alam dan manusia merupakan kesatuan utuh dalam kehidupan. kendati demikian, ironis sekali bahwa manusia kurang menyentuh stand point of ethics in islamic teology. hal ini berdampak pada bangkrutnya spiritualitas manusia, sehingga aktualisasi tindakan yang tidak berdasar pada nilai nilai ketuhanan menjadi cikal bakal rusaknya tatanan alam semesta. Manusia telah mengklusi dan mengeksploitasi alam secara berlebihan. 

Perbincangan antara interelasi sebenarnya telah menjadi isu panjang dalam kehidupan manusia. tidak dapat dipungkiri bahwa kesalahpahaman yang terjadi antara tuhan dan manusia telah menjadi persoalan falsafah yang abadi dan universal (Philoshopia perennist et universalist), oleh karna itu, sikap acuh dan diamnya manusia terhadap upaya rekonstruksi tatanan alam merupakan bentuk afirmasi terhadap kehancuran alam secara gradual.

Seorang ideolog jerman berpendapat dalam penelitiaannya mengenai "green party", pada bagian awal analysisnya yang menyoal terkait krisis lingkungan yang terjadi, menurutnya deforestasi lingkungan bukan berasal dari lingkungan itu secara alami, namun deforestasi yang terjadi pada lingkungan akibat runtuhnya relasi antara manusia dengan tuhan. Dengan persoalan seperti itu, kemudian muncul dan berkembang idiom baru yakni "ekologi dalam" (deep ecology), yang berarti pengetahuan berada dalam spiritualitas individu.

Pada sisi yang lain, kemajuan peradaban manusia sangat bertumpu pada teknologi dan ilmu pengetahuan, untuk itu manusia merubah struktur ekologi guna merealisasikan pikiran dan mewujudkan pikirannya, dalam hal ini corak epistemologi Cartesian yakni dualistik- mekanistik begitu melekat pada alam dan manusia secara dikotomis untuk kemajuan ekosistem manusia. 

Subjektivitas dalam pengertian Rene Descartes menjadi perhatian khusus sebagai akar dari lahirnya antrophosentrisme yang kemudian menjadi landasan kerusakan ekologis, hal itu telah terkristalisasi dalam Cogito Ergo Sum dalam mencetuskan kesadaran individual, artinya basis ontologis dari eksistensi alam semesta berada diluar diri manusia. akan tetapi, subjektivitas Isaac Newton terletak pada hasrat atau ambisi individu (human) sebagai subjek guna merefleksikan dirinya terhadap segala fenomena alam semesta melalui formula matematika, artinya alam dan manusia memiliki relasi terhadap keduanya.

 Titik singgung keduanya berlanjut pada relasi antara tuhan dan manusia, menurut Descartes, Tuhan merupakan unsur yang bersifat instrumentalistik karna sebagai penjamin atas keberadaan dan pengetahuan subjek individu terhadap benda benda lain (realitas eksternal). Sedangkan menurut Newton, Tuhan merupakan pencipta partikel-partikel benda (oikos), tuhan hanya dibutuhkan saat penciptaan saja. Kekuatan partikel menciptakan gerak dalam alam semesta seperti mesin raksasa berbasis hukum deterministic. 

Pada prinsip newton dan kaum materialis lainnya, fenomena alam dapat menjadi sumber dan acuan untuk menjumlah dan menjelaskan fenomena mental manusia dengan menggunakan hukum hukum fisik, dan bahan dasar atau partikel yang memiliki nutrisi, fotosintesis dan sistem pertumbuhan sebagai alat refleksi. Barrow dalam bukunya Essay On The Principle Of population (1789), mengatakan bahwa keberhentian dan kemusnahan umat manusia baru akan terjadi pada saat- saat persebaran penyakit, kelaparan dan peperangan. 

Seperti beberapa waktu lalu , umat manusia harus beradaptasi dan terpaksa hidup ditengah bumi yang sakit, COVID-19 yang melanda bumi manusia dinilai sebagai efek dari pemerkosaan alam yang berlebihan. Charles Handy menyatakan bahwa manusia era baru yang meninggalkan sejarah akan kehilangan keteraturan pada perubahannya, bahwa kondisi yang tercipta merupakan sesuatu yang tidak berpola. oleh karna itu paradigma antrophosentrisme menjadi persoalan penting mesti dikupas sedetail mungkin, dalam arti tertentu tragis, untuk menyelamatkan manusia dari bumi yang sakit.

disarikan dari:

Prof. Oekan S. Abdullah, Ph.D. Ekologi Manusia Dan Pembangunan Berkelajutan.Gramedia Pustaka Utama (2017).

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun