Mohon tunggu...
Ignatius NarayanaKrisna
Ignatius NarayanaKrisna Mohon Tunggu... Seogijapranata Catholic University

Second Year Accounting Business Student at Unika Soegijapranata Semarang

Selanjutnya

Tutup

Financial

"Aset Tak Kasat Mata" di Neraca Perusahaan: Saatnya Akuntansi Mulai Menilai Reputasi di Era Digital

4 Oktober 2025   10:56 Diperbarui: 4 Oktober 2025   10:56 11
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Di dunia yang semakin terhubung, informasi bisa menyebar dengan sangat cepat. Satu ulasan buruk di media sosial, satu kecelakaan layanan pelanggan yang viral, atau satu isu keberlanjutan yang tidak dianggap serius bisa membuat nilai perusahaan turun tajam dalam sekali hari. Sebaliknya, citra positif, kepercayaan pelanggan yang kuat, serta loyalitas merek yang baik bisa menjadi benteng terkuat dalam persaingan yang sangat ketat. Namun, ironisnya, hal yang paling penting dalam menentukan keberlanjutan bisnis di era digital yaitu reputasi sering kali tidak disebutkan dalam laporan keuangan.

Kita hidup dalam sebuah paradoks. Para eksekutif, manajer, dan investor mengerti bahwa reputasi sangat penting. Reputasi memengaruhi keputusan pembelian, menarik tenaga terbaik, mengurangi kesulitan mendapatkan pinjaman dari bank, bahkan memengaruhi harga saham. Namun, ketika kita membuka neraca perusahaan, kita tidak akan menemukan akun bernama "Reputasi Perusahaan" dengan nilai dalam rupiah. Aset fisik seperti gedung dan mesin dicatat secara rinci, tetapi aset tak kasat mata yang sangat bernilai ini justru terlewat dari perhatian akuntansi konvensional.

Gambar Ilustrasi  
Gambar Ilustrasi  
Standar akuntansi keuangan saat ini memang memiliki keterbatasan. Aset tak berwujud seperti goodwill hanya diakui ketika terjadi akuisisi atau penggabungan perusahaan. Goodwill adalah selisih antara harga beli perusahaan dengan nilai wajar aset bersihnya, di mana terkandung nilai dari reputasi, pelanggan, serta sinergi lainnya. Namun, bagaimana dengan perusahaan yang membangun reputasinya secara alami selama bertahun-tahun? Akuntansi tradisional tidak bisa menjawabnya. Ia gagal mengukur nilai nyata dari investasi jangka panjang pada kualitas produk, layanan pelanggan yang baik, serta praktik bisnis yang etis.

Kegagalan ini menciptakan "jurang informasi" yang sangat berbahaya. Investor dan kreditur harus mengambil keputusan hanya dengan data keuangan yang tidak lengkap. Mereka melihat laba dan ekuitas, tetapi tidak melihat fondasi reputasi yang menopangnya. Perusahaan mungkin terlihat sehat secara finansial, dengan margin laba besar, namun bisa sedang menghadapi masalah besar seperti ketidakpuasan pelanggan atau praktik yang tidak ramah lingkungan. Ketika masalah itu muncul, nilai pasar perusahaan bisa turun drastis, dan laporan keuangan yang sebelumnya terlihat kuat akan menjadi tidak relevan.

Gambar Ilustrasi 
Gambar Ilustrasi 

Saatnya dunia akuntansi dan keuangan berubah. Kita perlu sistem baru untuk mengukur dan melaporkan nilai reputasi sebagai bagian dari aset perusahaan. Tentu, ini bukan hal mudah. Reputasi bersifat subyektif dan selalu berubah. Tapi bukan berarti tidak mungkin. Dengan perkembangan teknologi dan big data, kini kita bisa menganalisis perasaan pasar secara langsung, mengukur tingkat kepuasan pelanggan dari berbagai platform digital, memantau penjelasan merek di media sosial, bahkan menghitung dampak dari inisiatif ESG terhadap persepsi masyarakat.

Bayangkan laporan keuangan masa depan yang selain mencantumkan nilai aset tetap, juga menampilkan "Indeks Kepercayaan Pelanggan" atau "Skor Reputasi Merek" yang dicek secara mandiri. Informasi ini akan memberi gambaran yang lebih lengkap dan akurat mengenai kesehatan serta ketahanan perusahaan. Bagi manajemen, ini akan mendorong mereka mengurangi fokus hanya pada pencapaian laba jangka pendek dan melalui investasi dalam membangun kepercayaan jangka panjang. Bagi investor dan bank, ini menjadi alat pengelolaan risiko yang lebih baik, memungkinkan mereka membedakan antara perusahaan yang benar-benar kuat dan hanya terlihat menarik di permukaan.

Akhirnya, mengabaikan reputasi dalam laporan keuangan seperti mencoba berlayar dengan peta tidak lengkap.
Kita mungkin bisa melihat daratan dan pulau besar, tapi buta terhadap aliran bawah laut dan badai yang siap menghantam. Saatnya kita menempatkan aset tak terlihat ini di tempatnya sendiri: di tengah perhatian, diukur, dikelola, dan dilaporkan sebagai salah satu fondasi utama yang mendukung nilai dan keberlanjutan bisnis di abad ke-21.

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

Mohon tunggu...

Lihat Konten Financial Selengkapnya
Lihat Financial Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun