Mohon tunggu...
Iftitahul Mustaadah
Iftitahul Mustaadah Mohon Tunggu... Freelancer - Mahasiswi

Hai, selamat datang di profilku, anggap aja aku pena dan kamu kertasnya, lalu kemudian kita tulis cerita bersama.

Selanjutnya

Tutup

Hukum

Apa yang Terjadi dengan RUU Pertanahan?

4 Oktober 2019   05:45 Diperbarui: 4 Oktober 2019   05:49 40
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Hukum. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Rancangan Undang-Undang (RUU) pertanahan ditangan Dewan Perwakilan Rakyat sekarang akan menandai tonggak ketiga pengaturan pertanahan. Tonggak pertama ditandai oleh undang-undang pertanahan kolonial atau Agrarisch wet 1870, dan tonggak kedua oleh undang-undang pokok Agraria 1960, yang merombak dualism sistem hukum pertanahan, yaitu sitem hukum barat dan adat menjadi sistem hukum pertanahan.

Undang-Undang pokok Agraria adalah perwujudan pengaturan pertanahan untuk mewujudkan cita-cita bangsa, yaitu keadilan dan kemakmuran sebagaimana tertuang dalam konstitusi. Namun, selama hampir 60 tahun terakhir, Undang-Undang itu berfungsi tidak lebih sebagai simbol jiwa sosialisme bangsa Indonesia

Ditengah situasi itu, RUU pertanahan tampaknya akan dihadirkan. Namun sejumlah kelompok pinggiran yang kritis terhadap ketidakadilan agrarian menuntut rancangan ini ditunda. Salah satu kritik tersebut adalah rancangan ini sedang mengarah ke kapitalisasi pertanahan.

Didalam teks RUU Pertanahan itu setidaknya terdapat enam arena tempat kapitalisasi pertanahan turut mewarnai arah pengaturannya yang memungkinkan ketidakadilan sosial dalam urusan partanahan terjadi.

Pertama, pengaturan hak milik atas tanah yang tidak sekuat dan sepenuh sebagaimana didalam Undang-Undang pokok Agraria. hak milik atas tanah cenderung renta terhadap hak-hak lain, seperti hak guna usaha, yang bisa digunakan sebagai instrument dengan dalih kepentingan Nasional.

Kedua, batas minimum dan maksimun hak milik atas tanah. Hal ini memungkinkan pengaturan batas-batas itu didasari kebijakan pemerintah yang dinamis, bahkan bergantung pada kekuatan dan kepentingan politik.

Ketiga, pengaturan tanah ulayat secara istimewa, yang memberikan isi dan pelaksanaan hak ulayat secara mutlak, seolah-olah terlepas dari konteks kekuasaan Negara. Pengistimewaan ini memungkinkan hubungan antar warga Negara dalam urusan pertanahan, seperti dengan hak milik perorangan atau badan hukum, menjadi tidak setara.

Keempat, pembaruan Agraria dimaknai serupa dengan kebijakan reforma Agraria pemerintahan melakukan penataan hak-hak atas tanah serta batas-batas minimum pada kaum tani.

Kelima, tanah Negara yang dinyatakan sebagai kawasan hutan, hampir setengah dikuasai oleh badan-badan hukum yang mewarnai ketimpangan penguasaan lahan.

Keenam, pemberian kewenangan kepada bank tanah yang sangat besar melampaui kementrian terkait serta gugus tugas Reforma dan Agraria.

Dengan perubahan pengaturan pertanahan sebagaimana disebutkan sebelumnya. Semakin sulit diterima oleh nalar public ketika mereka mengalami pertarungan-pertarungan secara langsung dengan berbagai kapitalisasi petanahan dalam kehidupan sehari-sehari

Mohon tunggu...

Lihat Konten Hukum Selengkapnya
Lihat Hukum Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun