Mohon tunggu...
Ifla Maulana
Ifla Maulana Mohon Tunggu... Jurnalis - Ruang belajar

Sedang mengembangkan bakat melamun.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Tanpa Tiket

8 Maret 2023   18:00 Diperbarui: 9 Maret 2023   12:06 221
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

"Kapan kau terakhir menyesal?" seseorang bertanya kepadaku dengan wajah yang begitu tenang.


"Ada banyak harapan dan keberkahan yang luput aku syukuri, banyak juga penyesalan yang kutelan. Mungkin, bisa jadi, adalah karena kekecewaan di masalalu. Tapi tak kubiarkan rasa penyesalan itu menggagahiku. Penyesalan hanya membuat kematian terasa pendek. Hidup terlalu sesak jika dibebani sederet penyesalan!" jawabku.


Ia menghela nafas. Lebih dalam dari sebelumnya. Aku tak tahu apa yang sedang dipikirkannya. Namun aku lebih memilih menatap wajahnya yang kian layu. Jalanan makin gelap. Semua ruang dipenuhi kesunyian.


"Aku pernah dengar cerita tentang seorang lelaki tua pengayuh perahu, ia bicara tentang bagaimana 'melepas'. Kata lelaki tua itu, jika ingin berjalan tanpa memiliki beban, maka 'melepas' semua yang dimiliki," katanya.


Kubiarkan dia bercerita. Barangkali ini momen yang tepat untuk membuatnya lega karena terlalu sering memendam perasaan yang tak bisa ia sampaikan.


"Tapi, agak ambigu juga. Apa lelaki tua itu tak pernah berpikir, bahwa tidak semua orang bisa menjadi pejalan? Karena terlalu berat jika harus melepas semua yang dimiliki. Ada semacam fiksi, mungkin lebih pas disebut harapan. Bahwa suatu hari ketika seorang pejalan kembali, ada sejumlah hal yang menunggunya, entah itu rumah, keluarga, kenangan atau kekasih," lanjutnya, sambil menatap jalanan. 


Aku masih memandangi wajahnya. Namun disela-sela ia bercerita, aku mencoba mengajukan pendapatku.


"Apa yang semula dibayangkan tentang menyambut kedatangan seorang pejalan, pada saat yang sama juga berpeluang disuguhi pengalaman yang tak mengenakkan. Bukankah tak menyenangkan, rumah yang kita anggap menunggu sosok kita, ternyata pintunya terututup? Bukankah menyesakkan kekasih yang kita kira menunggu, malah justru pergi memunggungi kita?" kataku pelan. 


Aku merapikan tempat duduk. Kusulut api dan kupindahkan bara itu menjadi gumpalan asap yang terhembus dari mulut.


"Perpisahan hanya soal waktu. Kadang perpisahan tak bisa menunggu sampai seseorang benar-benar sudah kembali pulang," lanjutku.


Aku tidak tahu, tak akan pernah tahu, akan berakhir di mana alur dari riwayat ini. Namun, kabar buruk mengejutkan yang ku dengar langsung itu asal muasalnya dari pertanyaan tadi. Membuat fragmen-fragmen masalalu berkelebat setiap detik.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun