Aku terpaku, terharu pada penjelasan Ari. Khayalku mulai lagi, menerawang perjalanan hidupnya yang sudah mencapai sebuah makna. Begitu hebatnya kebersamaan dalam rumah tangga yang dijalani sepasang suami istri selama bertahun - tahun.
Akan tetapi semuanya akan berubah, ketika seorang suami berpulang. Maka kehidupan seorang istri dan anak - anaknya akan berubah drastis. Hijau dalam taman hati perempuan penyiram bunga itu menghilang. Seakan ia tak sanggup lagi berdiri dengan kaki kirinya, sebab kaki kanannya telah teramputasi.
“Terus, bagaimana dia sekarang?“
“Ya begitulah, seperti yang kau lihat pada rumahnya, semuanya jadi tak terurus.“
Sesekali kulirik rumah perempuan penyiram bunga. Aku berharap pagi itu dapat melihatnya lagi, setelah sepuluh tahun. “Keluarlah duhai perempuan penyiram bunga! Aku ingin melihat mata embun pagimu, seperti yang kerap kulihat, dahulu.”
***
Sudah 20 menit kunanti, namun ia tak keluar juga. Akantetapi saat aku berjalan menuju warung, kulewati pintu samping rumahnya. Kulihat pintunya terbuka lebar. Dua buah kursi bertengger di sisi kanan dan kiri pintu. Seorang gadis kecil duduk di kursi berwarna biru sambil mengulum lolipop.
Tatapan matanya seakan sedang merindukan kasih sayang seorang Ayah. Sedangkan di kursi berwarna hijau, kulihat seorang perempuan nampak sendu, tatapannya kosong. Seakan ia masih berkubang di masa lalunya yang bahagia. Ya, dialah perempuan penyiram bunga itu.
Kursi hijau yang ia duduki seakan memaknai hidupnya, yang tak sejuk lagi setelah suaminya meninggal. Matanya seakan berkata,"Inilah diriku sekarang, tidak sesejuk sepuluh tahun lalu, ketika kau melihatku. Aku terpuruk dalam sendu. Aku merangkak, membangun kembali kehidupanku bersama anak-anakku. Sekarang kau akan lebih mengenalku. Matahari pun sudah menyengat kulit saljuku. Kesabaranlah yang sekarang kusirami, bukan bunga - bunga yang dahulu sering kusirami.”
Jika aku dapat berkata, maka akan kukatakan, “Kaulah perempuan penyiram bunga, yang selalu aku pandangi dahulu. Seandainya dulu kau membaca tanda di mataku, yang seakan bertanya, untuk apa kau sirami tumbuhan dan bunga - bunga itu di pagi hari, bila di sore hari kau bisa menyiraminya? Seharusnya kau membaca pesan di tatap mataku. Tapi semua sudah berlalu, inilah kehidupanmu sekarang.”
Mengetahui keadaannya, membuat malamku tak tenang. Kerinduan saat menatapnya seakan menyeret keinginanku untuk bertandang ke rumah Ari lagi.