“Kenapa kau tertawa, kawan. Tak bolehkah, sahabatmu ini jatuh cinta?”
“Aneh kau. Dia itu istri orang!” Ia terbahak. Sungguh menyebalkan tawanya!
Aku menelan ludah. Telak! Perempuan itu ternyata seorang istri. Aku keliru, bodohnya aku tertipu silau sang mentari. Namun, pagi keempat, kelima, keenam, dan seterusnya masih tetap kupandangi isyarat -isyarat keindahan pagi dalam dirinya. Terkadang ia menitipkan senyum embun padaku. Sampai akhirnya aku lulus SMU, dan aku pun mulai jarang main ke rumah Ari.
***
Waktu bergulir, aku menghilang bersama kesibukanku. Sampai suatu pagi datang, akhirnya aku berkunjung ke rumah Ari. Pagi itu pukul sepuluh, setelah menghubungi Ari lewat telepon. Aku bergegas mengunjunginya. Di depan rumah Ari, kupandangi rumah perempuan penyiram bunga.
Rumah itu sudah tak seindah sepuluh tahun lalu, tampak lusuh, kusam, dan catnya memudar tersengat matahari. Bahkan asbes atap rumahnya pun terlihat lapuk.
“Ada apa gerangan? Apakah ia telah pindah? Kenapa bunga - bunga itu menjadi kering? Rumah yang dulu pernah menyejukan pagiku, kini kehilangan hijaunya.”
Dari teras rumah, Ari tersenyum melihat kedatanganku. Tubuh sahabatku sudah berubah. Ternyata sepuluh tahun membuat segalanya berubah. Sahabatku dan perempuan penyiram bunga itu, sudah begitu jauh berbeda. Tubuh sahabatku kini lebih subur keadaannya.
Sedangkan perempuan penyiram bunga itu, “Bagaimana keadaannya, yang dahulu sering kujejaki paginya?” rasa penasaran menggeliat di batin. Seiring pertanyaan hati, segera kutanyakan pada Ari tentang perempuan penyiram bunga itu.
“Bagaimana kabar tetanggamu itu, Ri?“ tanyaku berkelakar
“Seperti yang kau lihat, Sahabat. Tiga tahun silam, suaminya meninggal. Semenjak itu segalanya berubah.”