Mohon tunggu...
Ifa Noer Latifah
Ifa Noer Latifah Mohon Tunggu... Mahasiswa di Universitas Pendidikan Indonesia (UPI)

Mendengarkan musik adalah healing terbaik dalam kehidupan.

Selanjutnya

Tutup

Bahasa

Rahasia di balik Konteks: Bagaimana Pragmatik membentuk makna dalam Komunikasi

26 Maret 2025   13:40 Diperbarui: 26 Maret 2025   13:30 56
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bahasa. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Jcstudio

Pragmatik, sebagai cabang linguistik yang mengkaji pengaruh konteks terhadap makna, memegang peranan krusial dalam membentuk interaksi sehari-hari kita. Berbeda dengan semantik yang berfokus pada makna literal, pragmatik menyoroti bagaimana faktor-faktor situasional seperti latar, waktu, partisipan, dan tujuan komunikasi berkontribusi pada pemahaman yang lebih mendalam. Konsep-konsep inti seperti deiksis, implikatur---makna yang tersirat alih-alih diucapkan secara langsung---dan tindak tutur menjadi landasan penting dalam memahami bagaimana kita berkomunikasi secara efektif. Implikatur, misalnya, memungkinkan kita menangkap maksud tersembunyi di balik ucapan, sementara kesantunan berbahasa membantu menjaga harmoni sosial melalui penggunaan strategi komunikasi yang halus. Lebih lanjut, konteks menjadi elemen kunci yang memungkinkan penutur dan pendengar menafsirkan makna dengan tepat, menghindari potensi kesalahpahaman yang mungkin timbul jika kita hanya terpaku pada arti harfiah. Di era digital yang serba cepat, pragmatik juga menemukan relevansinya dalam memahami penggunaan singkatan, emoji, dan meme yang sarat makna dalam konteks daring. Oleh karena itu, pengintegrasian aspek pragmatik dalam pendidikan bahasa menjadi esensial untuk membekali siswa dengan keterampilan komunikasi yang mumpuni dalam berbagai situasi sosial dan profesional. Dengan menyadari betapa signifikannya konteks dalam membentuk makna, kita dapat meningkatkan kualitas interaksi kita dan meminimalisir risiko terjadinya miskomunikasi.

            Lebih jauh lagi, pemahaman mendalam tentang pragmatik membuka tabir kompleksitas komunikasi manusia yang seringkali tersembunyi di balik kata-kata yang terucap. Ketika kita berbicara, kita tidak hanya menyampaikan informasi secara literal, tetapi juga mengandalkan serangkaian asumsi dan pengetahuan bersama tentang dunia, budaya, dan situasi spesifik. Inilah yang menjadi ranah kajian pragmatik. Ambil contoh sederhana: ketika seseorang bertanya, "Apakah kamu tahu jam berapa sekarang?" dalam sebuah pertemuan yang molor, mereka tidak sekadar mencari informasi waktu. Konteksnya menyiratkan sebuah keinginan untuk mengakhiri pertemuan atau setidaknya menyadari keterlambatan. Pragmatik membantu kita mengurai makna tersirat ini, yang seringkali lebih penting daripada makna denotatif kata-kata itu sendiri. Konsep implikatur, yang diperkenalkan oleh filsuf bahasa Paul Grice, menjadi salah satu pilar utama dalam pragmatik. Implikatur memungkinkan kita untuk menyampaikan lebih dari apa yang sebenarnya kita katakan. Misalnya, jika seseorang bertanya, "Apakah kamu sudah mengerjakan tugasmu?" dan dijawab dengan "Saya baru saja bangun," jawaban ini secara literal tidak menjawab pertanyaan tersebut. Namun, berdasarkan implikatur, pendengar dapat memahami bahwa orang tersebut belum mengerjakan tugasnya karena baru bangun. Pemahaman akan implikatur sangat penting dalam menghindari kesalahpahaman dan membangun komunikasi yang efektif. Terkait dengan ini adalah prinsip kesantunan, di mana kita secara intuitif menyesuaikan cara bicara kita agar sesuai dengan norma sosial dan menjaga hubungan baik dengan lawan bicara. Strategi seperti menggunakan bahasa yang tidak langsung, memberikan pujian sebelum kritik, atau merendahkan diri sendiri adalah contoh bagaimana pragmatik diterapkan untuk menjaga kesantunan dalam berinteraksi. Peran konteks dalam memahami makna tidak bisa diremehkan. Konteks tidak hanya terbatas pada situasi fisik atau topik pembicaraan, tetapi juga mencakup konteks linguistik (kata-kata yang mendahului atau mengikuti), konteks sosial (hubungan antara pembicara), dan konteks budaya (norma dan nilai yang berlaku). Bayangkan ungkapan "Saya lapar" diucapkan dalam dua konteks yang berbeda. Di meja makan saat jam makan siang, maknanya jelas: seseorang ingin makan. Namun, jika diucapkan saat seseorang sedang mengerjakan tugas penting dan tidak ingin diganggu, ungkapan tersebut bisa jadi berarti "Jangan ganggu saya, saya sedang fokus." Kemampuan untuk menginterpretasikan makna berdasarkan konteks inilah yang membedakan komunikasi manusia dari sekadar pertukaran informasi. Di era digital, pragmatik memainkan peran yang semakin vital. Komunikasi daring seringkali menghilangkan isyarat nonverbal seperti ekspresi wajah dan intonasi suara, yang biasanya membantu kita memahami makna dalam interaksi tatap muka. Oleh karena itu, kita mengandalkan petunjuk pragmatik lainnya seperti penggunaan emoji untuk menyampaikan emosi, singkatan untuk efisiensi, atau bahkan meme yang membawa makna budaya tertentu. Memahami konvensi pragmatik dalam komunikasi digital sangat penting untuk menghindari misinterpretasi dalam pesan teks, media sosial, atau email. Nada bicara yang mungkin tersirat dalam percakapan langsung perlu digantikan dengan penanda-penanda digital yang dipahami bersama. Akhirnya, penerapan pragmatik dalam pendidikan bahasa memiliki implikasi yang signifikan. Mengajarkan siswa untuk tidak hanya memahami makna literal tetapi juga makna tersirat, untuk mempertimbangkan konteks dalam berkomunikasi, dan untuk menggunakan bahasa yang santun dan efektif akan meningkatkan kemampuan komunikasi mereka secara holistik. Ini tidak hanya relevan dalam lingkungan akademik tetapi juga dalam kehidupan sosial dan profesional mereka di masa depan. Dengan pemahaman yang kuat tentang pragmatik, individu akan lebih mampu beradaptasi dengan berbagai situasi komunikasi, membangun hubungan yang lebih baik, dan menghindari konflik yang mungkin timbul akibat kesalahpahaman. Dengan demikian, pragmatik bukan sekadar teori linguistik, melainkan sebuah keterampilan hidup yang esensial untuk navigasi yang sukses dalam dunia yang penuh dengan interaksi verbal dan nonverbal.

            Pragmatik juga menyoroti bagaimana makna sangat terikat pada konteks melalui konsep deiksis. Kata-kata deiktis, seperti kata ganti ("saya," "kamu," "mereka"), penunjuk waktu ("sekarang," "besok," "di sini"), dan penunjuk tempat ("di sana," "ini"), tidak memiliki makna tetap melainkan bergantung sepenuhnya pada siapa yang berbicara, kapan, dan di mana percakapan itu terjadi. Misalnya, pernyataan "Saya akan pergi besok" hanya akan bermakna jelas jika kita mengetahui kapan "besok" yang dimaksud oleh pembicara. Pemahaman akan deiksis membantu kita menavigasi referensi kontekstual yang melekat dalam komunikasi sehari-hari. Selain itu, pragmatik juga mengkaji tindak tutur, yang melihat ucapan bukan hanya sebagai rangkaian kata, tetapi juga sebagai tindakan yang memiliki maksud dan konsekuensi. Setiap kali kita berbicara, kita melakukan sesuatu---membuat pernyataan, mengajukan pertanyaan, memberikan perintah, atau menyampaikan permintaan. Tindak tutur dibagi menjadi tiga komponen: lokusi (tindakan mengucapkan), ilokusi (tujuan atau maksud di balik ucapan), dan perlokusi (dampak ucapan pada pendengar). Contohnya, ucapan "Bisakah kamu menutup jendela?" secara lokusi adalah sebuah pertanyaan, tetapi secara ilokusi berfungsi sebagai permintaan. Memahami tindak tutur memungkinkan kita mengenali maksud tersembunyi di balik perkataan dan merespons dengan tepat. Namun, kesalah pahaman dalam komunikasi pragmatik seringkali tak terhindarkan ketika konteks tidak dipahami secara bersama. Hal ini terutama rentan terjadi dalam interaksi lintas budaya, di mana norma-norma komunikasi dan interpretasi makna bisa sangat berbeda. Misalnya, tatapan mata yang dianggap sopan di satu budaya bisa jadi dianggap agresif di budaya lain. Perbedaan dalam pemahaman humor atau penggunaan sarkasme juga dapat memicu miskomunikasi. Oleh karena itu, kesadaran akan perbedaan pragmatik antarbudaya sangat penting untuk membangun komunikasi yang efektif dan menghindari kesalahpahaman. Terakhir, prinsip-prinsip pragmatik juga memiliki aplikasi praktis dalam bidang negosiasi dan persuasi. Dalam konteks ini, kemampuan untuk memahami perspektif lawan bicara melalui mendengarkan aktif dan menggunakan bahasa yang positif dapat menciptakan suasana yang lebih kolaboratif dan meningkatkan peluang keberhasilan negosiasi. Dengan memanfaatkan strategi pragmatik yang tepat, individu dapat mengkomunikasikan maksud mereka dengan lebih efektif dan mencapai hasil yang diinginkan dalam berbagai interaksi.

            Untuk memperdalam pemahaman kita tentang pragmatik, mari kita telaah lebih lanjut beberapa aspek penting yang telah disebutkan. Mengenai deiksis, penting untuk dicatat bahwa kategori deiksis lebih luas dari sekadar kata ganti, waktu, dan tempat. Ada juga deiksis sosial, yang merujuk pada bagaimana bahasa menandakan hubungan sosial dan status antara pembicara dan pendengar (misalnya, penggunaan sapaan formal atau informal). Selain itu, ada deiksis wacana, yang mengacu pada elemen-elemen dalam bahasa yang merujuk pada bagian lain dari wacana yang sama (misalnya, "seperti yang telah saya katakan sebelumnya"). Memahami berbagai jenis deiksis ini membantu kita menyadari betapa mendalamnya ketergantungan bahasa pada konteks situasional. Selanjutnya, mengenai tindak tutur, klasifikasi tindak tutur ilokusi dapat diperluas menjadi beberapa kategori utama, seperti: asertif (menyatakan keyakinan, contoh: "Saya yakin hari ini akan hujan"), direktif (berusaha membuat pendengar melakukan sesuatu, contoh: "Tolong tutup pintunya"), komisif (mengikat penutur pada suatu tindakan di masa depan, contoh: "Saya berjanji akan datang tepat waktu"), ekspresif (mengungkapkan perasaan atau sikap penutur, contoh: "Selamat atas keberhasilanmu!"), dan deklaratif (ucapan yang mengubah status atau realitas, contoh: "Dengan ini saya nyatakan rapat ditutup"). Selain tindak tutur langsung yang maksudnya eksplisit, terdapat juga tindak tutur tidak langsung, di mana maksud penutur tidak dinyatakan secara harfiah. Misalnya, pertanyaan "Bisakah kamu mengulangi?" mungkin secara tidak langsung merupakan permintaan untuk mengulang apa yang baru saja dikatakan. Pemahaman akan tindak tutur tidak langsung sangat penting dalam berkomunikasi secara sopan dan efektif.  Dalam konteks kesalah pahaman pragmatik, penting untuk menyadari bahwa ini tidak hanya terjadi akibat perbedaan budaya, tetapi juga dapat timbul dari perbedaan dalam gaya komunikasi, ekspektasi percakapan, atau bahkan pemahaman implikatur yang berbeda antarindividu. Kegagalan pragmatik dapat terjadi ketika seseorang melanggar aturan atau harapan pragmatik yang berlaku dalam suatu konteks, meskipun secara gramatikal dan semantik ucapannya benar. Dalam pembelajaran bahasa kedua, fenomena transfer pragmatik juga sering terjadi, di mana pembelajar tanpa sadar menerapkan aturan pragmatik dari bahasa ibu mereka ke dalam bahasa target, yang terkadang dapat menyebabkan kesalahpahaman atau dianggap tidak sopan oleh penutur asli. Terakhir, dalam negosiasi dan persuasi, penerapan pragmatik jauh lebih strategis. Selain mendengarkan aktif dan menggunakan bahasa positif, individu yang mahir dalam pragmatik juga akan memperhatikan petunjuk pragmatik yang diberikan oleh lawan bicara, seperti perubahan nada suara, bahasa tubuh, atau pilihan kata, untuk memahami posisi dan maksud tersembunyi mereka. Mereka mungkin juga menggunakan strategi seperti hedging (menggunakan bahasa yang tidak terlalu tegas untuk mengurangi risiko penolakan) atau mengajukan pertanyaan yang dirancang untuk mengarahkan percakapan ke arah yang diinginkan. Kemampuan untuk memahami dan memanfaatkan nuansa pragmatik dalam konteks negosiasi dan persuasi adalah keterampilan yang sangat berharga dalam mencapai hasil yang menguntungkan. Dengan demikian, pragmatik bukan hanya sekadar memahami makna di balik kata-kata, tetapi juga tentang memahami bagaimana menggunakan bahasa secara strategis dan efektif dalam berbagai situasi sosial dan profesional.

            Dalam dunia komunikasi yang semakin kompleks, pemahaman tentang pragmatik menjadi semakin penting. Dengan menyadari bagaimana konteks membentuk makna, kita dapat berinteraksi dengan lebih efektif dan menghindari kesalahpahaman. Pragmatik bukan hanya sekadar teori linguistik; ia adalah alat praktis yang memungkinkan kita memahami dan memperbaiki cara kita berkomunikasi. Dengan menerapkan prinsip-prinsip pragmatik dalam kehidupan sehari-hari, baik dalam konteks pribadi maupun profesional, kita dapat menciptakan interaksi yang lebih bermakna dan produktif. Dengan demikian, artikel ini diharapkan dapat memberikan wawasan mendalam tentang bagaimana pragmatik membentuk makna dalam komunikasi dan mendorong pembaca untuk lebih memperhatikan konteks dalam setiap interaksi mereka.

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

Mohon tunggu...

Lihat Konten Bahasa Selengkapnya
Lihat Bahasa Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun