Wisuda bagi mahasiswa perantauan adalah momen yang punya dua wajah, satu sisi penuh kebahagiaan karena akhirnya gelar yang diperjuangkan dengan susah payah berhasil diraih, namun di sisi lain juga menjadi momok menakutkan karena sederet biaya persiapan yang tidak sedikit. Bagi mereka yang kuliah jauh dari kampung halaman dengan uang saku pas-pasan, persiapan wisuda bisa terasa lebih berat daripada menghadapi dosen killer atau revisi skripsi yang tak ada habisnya. Sebelum bisa tersenyum di atas panggung dan menerima ijazah, mahasiswa harus lebih dulu menguras tabungan atau bahkan berhutang hanya untuk tampil "pantas" di momen bersejarah itu.
Bayangkan saja, biaya untuk sekadar baju wisuda sudah bisa bikin kening berkerut. Sewa kebaya atau jas paling murah Rp250.000, sedangkan kalau beli baru bisa menembus jutaan rupiah. Lalu ada makeup yang harganya bisa menyamai biaya makan sebulan, sekitar Rp150.000 hingga Rp300.000. Belum lagi fotografer, yang paket lengkapnya bisa mencapai Rp600.000, padahal kadang hasilnya mirip saja dengan jepretan teman kos pakai HP dengan bayaran nasi padang lauk rendang hehe... Jangan lupakan pula aksesoris tambahan seperti bunga, boneka, dan balon helium yang kalau ditotal bisa setara ongkos pulang kampung. Semua biaya itu menumpuk begitu cepat, membuat mahasiswa perantauan sering bercanda bahwa lebih susah bayar wisuda daripada bayar UKT.
Namun, di balik semua angka itu, wisuda bukan sekadar pesta foto atau ajang pamer kebaya baru di Instagram. Ia adalah simbol perjuangan, puncak dari perjalanan panjang penuh air mata dan kerja keras. Bagi mahasiswa perantauan, wisuda adalah saat membuktikan bahwa hidup jauh dari rumah, menahan rindu, menghemat uang kiriman, tidur di kos sempit, makan mie instan di akhir bulan, dan bergelut dengan skripsi hingga larut malam bukanlah pengorbanan yang sia-sia. Ketika toga dipakai, ada kebanggaan yang tak bisa dinilai dengan uang, kebanggaan melihat orang tua tersenyum bangga, meski mereka hanya bisa hadir lewat doa dari kejauhan atau duduk di kursi auditorium dengan pakaian sederhana.
Di tengah kesibukan itu, selalu ada humor khas mahasiswa perantauan yang membuat suasana lebih ringan.Â
"Eh, kamu udah siapin budget buat MUA?" tanya Herawati panik. "Budget? Gue aja baru siapin mental, dompet udah kosong," jawab Syifa santai.Â
"Terus nanti fotonya gimana?" Fitri masih bingung. Syifa terkekeh, "Tenang, kamera temen kos ada filter, tinggal pilih mau look glowing atau baby face."Â
Obrolan sederhana itu terdengar konyol, tapi itulah yang membuat momen wisuda jadi lebih berwarna, penuh tawa di balik kesulitan.
Pada akhirnya, wisuda memang bisa jadi momok menakutkan bagi mahasiswa perantauan karena biaya yang menjerat dompet. Tapi makna yang terkandung di baliknya jauh lebih besar dari semua angka yang keluar. Wisuda adalah perayaan keberhasilan, titik balik yang menegaskan bahwa pendidikan adalah investasi seumur hidup. Dan meski setelah toga dilepas tantangan hidup yang sesungguhnya baru dimulai, momen wisuda akan selalu dikenang sebagai bukti nyata bahwa kerja keras, doa, dan pengorbanan, khususnya bagi mahasiswa yang merantau, tidak pernah sia-sia.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI