Mohon tunggu...
IDRIS APANDI
IDRIS APANDI Mohon Tunggu... Penulis - Penikmat bacaan dan tulisan

Pemelajar sepanjang hayat.

Selanjutnya

Tutup

Politik

Politisi Kita yang Kekanak-kanakan

20 September 2016   10:20 Diperbarui: 20 September 2016   10:33 356
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Seorang anak sedang marahh. (Ilustrasi : http://4.bp.blogspot.com/)

Oleh:

IDRIS APANDI

Arus reformasi yang bergulir tahun 1998 bercita-cita mewujudkan masyarakat madani. Masyarakat madani dimaknai sebagai masyarakat sipil (civil society)yang demokratis, beradab, toleran, dan menjunjung tinggi HAM, termasuk praktek-praktek kehidupan politik yang bermartabat.

Melihat fenomena yang saat ini terjadi sungguh sangat miris, utamanya menjelang Pilkada DKI Jakarta. Demi kepentingan politik, para elit elit gontok-gontokan, terbelah menjadi pro dan anti Ahok. Perang urat syaraf terjadi secara terbuka utamanya di media massa dan media sosial. Saing hina, saling caci, dan saling maki menjadi bumbu penyedap dalam propaganda kedua belah pihak. Isu SARA pun tidak ketinggalan, dihembuskan demi memperkuat propaganda. Perang urat syaraf bukan hanya terjadi antarelit politik, tapi juga antar pendukungnya sehingga media sosial menjadi ajang meluapkan sumpah serapah dan kebencian diantara mereka.

Presiden Joko Widodo, pada sambutannya pada peringatan 90 tahun Pondok Modern Gontor di Ponorogo Jawa Timur tanggal 19 September 2016, menyampaikan keprihatinannya berkaitan dengan semakin lunturnya karakter bangsa, termasuk aksi saling hujat, saling merendahkan martabat orang lain, dan saling mengolok-olok. Dan perilaku tersebut diantaranya dilakukan oleh para politisi dan para pendukungnya.

Dendam dan hasrat berkuasa telah membutakan nurani pada elit politik kita. Awalnya kita berharap para elit politik dapat menjadi contoh figur yang berpolitik secara santun, bisa menahan ego pribadi dan ego kelompoknya, serta mengutamakan kepentingan bangsa dan negara di atas kepentingan pribadi dan golongan.

Hakikat politik praktis adalah upaya meraih dan mempertahankan kekuasan. Oleh karena itu, orang mendirikan partai politik sebagai “alat perjuangan” untuk mencapai hal tersebut. Di negara demokratis seperti Indonesia, keberadaan partai politik adalah sebuah keniscayaan. Dari partai politik diharapkan muncul kader-kader calon pemimpin bangsa. Tapi sayang seribu sayang, partai politik belum dapat menjadi pusat kaderisasi para calon pemimpin bangsa. Kasus-kasus korupsi justru banyak melibatkan aktivis parpol. Dan parpol kadang menjadi “bunker” koruptor.

Walau undang-undang Pemilukada membuka kesempatan bagi calon independen, tetapi peran partai politik memang tidak dapat dinafikan, karena DPRD diisi oleh wakil-wakil parpol, dan tentunya sang kepala daerah yang berasal dari independen tersebut harus mampu berkomunikasi dengan baik dan bekerjasama dengan para anggota DPRD tersebut.

Persaingan memperebutkan kekuasaan adalah hal yang lumrah dalam dunia politik. Iklim politik menjadi hidup dan menarik karena persaingan antar kandidat. Tapi persaingan tersebut pelru dilakukan santun dan menjunjung tinggi harkat dan martabat masing-masing pihak. Menjatuhkan martabat orang lain tidak membuat martabat orang yang menjatuhkannya lebih tinggi.

Debat-debat politik bukan digunakan untuk digunakan untuk menyampaikan sentimen atau ketidaksukaan terhadap pribadi kandidat tertentu, tetapi justru adu program, adu visi dan misi. Debat dijadikan sebagai sarana pendidikan politik kepada masyarakat, bukan sarana adu mulut dan masing-masing pihak tidak mau mengalah. Debat-debat seperti ini justru membuat masyarakat semakin apatis terhadap politik.

Kritik adalah hal yang biasa disampaikan dalam kehidupan, termasuk dalam politik. Kritik biasanya disampaikan oleh pihak oposisi dan kelompok masyarakat yang yang tidak puasa terhadap kinerja pemerintah. Tapi kritik yang diperlukan adalah kritik-kritik yang membangun, kritik yang disertai dengan alternatif penyelesaian masalah, bukan kritik yang asal beda dengan lawan politik. Kritik yang bukan dominan unsur yang subjektivitasnya dibandingkan dengan objektivitasnya. Sepanjang kebijakannya pro rakyat, maka perlu didukung, dan jika melenceng dari koridor, maka perlu dikritisi.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun