Mohon tunggu...
IDRIS APANDI
IDRIS APANDI Mohon Tunggu... Penulis - Penikmat bacaan dan tulisan

Pemelajar sepanjang hayat.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Pendidikan Indonesia, Ketika Angka-angka Menjadi Berhala

17 Juni 2017   01:51 Diperbarui: 17 Juni 2017   02:07 304
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Hakikat pendidikan adalah memanusiakan manusia. Pada pasal 3 Undang-undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional dinyatakan bahwa Pendidikan nasional berfungsi mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat,  berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab.

Mengacu kepada fungsi dan tujuan pendidikan tersebut diatas, maka perlu digaris bawahi bahwa pendidikan nasional tidak memfokuskan membentuk peserta didik agar memperoleh prestasi dalam konteks angka-angka, tetapi fokusnya kepada membentuk manusia Indonesia yang beriman, bertakwa, akhlak mulia, dan berbudi pekerti luhur sehingga menjadi warga negara yang baik.

Bukan berarti angka-angka tidak penting, karena angka pun dibutuhkan sebagai rujukan data untuk evaluasi atau pengambilan keputusan, tetapi angka-angka tidak dijadikan suatu hal yang sakral, atau dengan kata lain, angka-angka bukan untuk diberhalakan.

Realita di masyarakat, walau sudah tidak ada  sistem rangking pada raport,  tetapi masih ada sekolah yang mencantumkan rangking pada buku raport siswa masih menggunaan rangking, katanya untuk sekedar memotivasi siswa untuk giat belajar, padahal setiap anak pada dasarnya adalah unik, memiliki minat, bakat, dan potensi masing-masing, tidak  dapat dibandung-bandingkan.

Angka-angka itu bermanfaat untuk mendaftar kuliah atau melamar pekerjaan. Oleh karena itu, wajar kalau banyak orang yang ijazah minded, karena ijazah adalah sarana untuk mendapatkan pekerjaan, mengembangkan karir, atau menduduki satu jabatan tertentu. Adapun prosesnya memperoleh ijazah tersebut, kadang tidak terlalu menjadi perhatian. Ada yang bermental instan.

Sebuah penelitian yang dilakukan oleh Harvard University menyimpulkan bahwa kesuksesan seseorang 20% ditentukan oleh hard skilldan 80% ditentukan oleh soft skill. Berdasarkan kepada hal tesebut, maka angka-angka yang tertera pada buku raport, transkrip nilai, atau ijazah jangan dijadikan sebagai berhala pendidikan.

Ketika angka-angka dijadikan sebagai berhala, maka sangat wajar ketika orang menghalalkan segala cara untuk mendapatkan nilai yang besar dengan cara-cara yang tidak baik seperti menyontek, jual beli kunci jawaban, dan melakukan plagiarisme. Jika demikian, apa sebenarnya yang dicari dari proses pendidikan? prestasi? prestise? atau kamuflase? Atau kejujuran?

Ketika mencontek telah menjadi budaya, dan plagiarime telah menjadi jalan pintas, maka etika pendidikan telah mati, dan proses pendidikan telah kehilangan martabatnya. Guru-guru di Australia lebih khawatir murid-muridnya tidak bisa antri mengantri daripada tidak bisa mengerjakan soal-soal matematika, apakah guru-guru di Indonesia juga memiliki kekhawatiran yang sama? Atau terus menjejali dengan materi-materi pelajaran yang kadang membuat siswa bosan?

Ketika siswa-siswa di Jepang membersihkan toilet sebagai salah satu kewajiban rutin yang dilakukan, di Indonesia, membersihkan digunakan sebagai salah bentuk hukuman bagi siswa yang melanggar disiplin. Membersihkan toilet dianggap sebagai pekerjaan yang menjijikkan, padahal hal sebagai bagian dari upaya menjaga kebersihan, membangun kemandirian, dan tanggung jawab siswa. Pola pikir inilah yang menurut saya kurang tepat, dan perlu diluruskan.

Kurikulum 2013 yang saat ini diberlakukan oleh pemerintah menjadi momentum untuk memperbaiki praktek pembelajaran. Memberikan porsi yang besar terhadap penguatan aspek sikap, mulai dari SD, SMP, dan SMA/SMK. Dilanjutkan pada aspek pengetahuan dan keterampilan. Empat Kompetensi Inti (KI) yang meliputi (1) Sikap Spiritual, (2) Sikap Sosial, (3) pengetahuan dan, (4) keterampilan menjadi pengikat bagi Kompetensi Dasar pada setiap mata pelajaran.

Pendidikan bukan hanya berisi penjejalan atau hapalan-hapalan materi kepada siswa, tetapi memberikan suatu hal bermakna kepada mereka yang dapat dijadikan sebagai bekal hidupnya. Pendidikan kecakapan hidup (life skill) dan pendidikan kewirausahaan (entepreneurship) perlu ditanamkan kepada para siswa, agar mandiri, bermental yang kuat untuk menghadapi persaingan global. Keterampilan abad 21 yang meliputi 4C (Creative, Communication, Collaboration, dan Critical thinking) mutlak perlu dimiliki oleh siswa. Sekarang sudah bukan jamannya memberhalakan angka-angka, tetapi membentuk siswa menjadi manusia yang berdaya guna dan berhasil guna.

Oleh: IDRIS APANDI (Widyaiswara Lembaga Penjaminan Mutu Pendidikan/LPMP  Jawa Barat)

Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun