Mohon tunggu...
IDRIS APANDI
IDRIS APANDI Mohon Tunggu... Penulis - Penikmat bacaan dan tulisan

Pemelajar sepanjang hayat.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Momok "Bank Emok"

24 Maret 2020   18:06 Diperbarui: 24 Maret 2020   18:10 180
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Istilah "Bank Emok" saat ini begitu populer ditengah-tengah masyarakat. "Bank Emok" seolah elok, tapi sebenarnya menohok, lalu menjadi momok bagi setiap orang terjerat olehnya. Kalau dulu disebut "Bank Keliling", kini disebut "Bank Emok". Siapa mereka? Mereka adalah rentenir dengan "berjaket" sebagai koperasi atau bank.

Sasaran mereka adalah warga yang tidak bisa mengakses pinjaman melalui bank, karena kalau mangajukan kredit ke bank, syaratnya harus ada jaminan, sedangkan meminjam di "bank emok" syaratnya hanya KTP saja. Oleh karena itu, banyak warga yang tergiur? Siapa orangnya yang tidak mau menerima dana segar dengan proses yang mudah? Oleh karena itu, "bank emok" semakin menggurita dan menjerat banyak korban.

Para peminjam biasanya mengajukan pinjaman secara berkelompok, dan membayarnya disepakati pada hari tertentu. Kalau ada yang tidak mampu membayar cicilan, maka teman-temanya yang harus menanggungnya. Tujuan awal pinjaman untuk modal usaha, tapi pada kenyataannya ada yang memang digunakan untuk modal usaha dan mampu mengelolanya dengan baik, tapi justru lebih banyak untuk gaya hidup. Dan lebih parah lagi, untuk keperluan "gali lubang tutup lubang". Meminjam dari satu "bank emok" untuk membayar hutang kepada "bank emok" yang lainnya, karena dia meminjam dari beberapa "bank emok". Dalam seminggu, ada orang yang harus membayar hutang ke beberapa "bank emok".

Di sinilah "jebakan betmen" itu dimulai. Sebenarnya adalah hak siapa pun untuk meminjam uang ke mana pun. Toh dia yang menikmati sekaligus juga akan membayarnya.

"Ngapain juga yang gak ikut minjem ikut-ikutan pusing? Nafsi-nafsi saja, toh kalau dia dipinjami uang belum tentu ngasih?"

Argumen itu bisa saja muncul dari konteks individualisme, tapi dalam konteks sosial, hal ini bisa menjadi masalah sosial yang serius, karena kalau semakin banyak orang yang terjerat oleh "bank emok", maka kondisi perekonomian dan mental masyarakat akan semakin terganggu.

Dampak dari "bank emok" ada yang awalnya punya rumah, punya kendaraan, justru harta-harta mereka itu dijual untuk membayar cicilan plus bunganya.

Oleh karena itu, mengingat bahaya dampak dari "bank emok" tersebut, ada daerah atau kampung yang secara tegas menolak kehadiran "bank emok" di kampung mereka, karena kalau mengizinkan "bank emok" masuk, sama saja dengan mengundang penyakit masyarakat.

Tawaran pinjaman bukan hanya dilakukan secara konvensional, masuk ke kampung-kampung, dan door to door, tapi juga dilakukan secara online. Iming-iming persyaratan yang mudah dan sekian puluh menit bisa cair menjadi godaan bagi calon korbannya.

Dan terbukti sudah banyak korbannya. Saya beberapa kali mendapatkan SMS yang isinya meminta agar saya membantu "menagih" hutang teman saya kepada pinjaman online (pinjol). Ini adalah upaya untuk meneror sekaligus mempermalukan orang yang meminjam uang kepada mereka.

Milyaran dana desa yang digelontorkan kepada setiap desa bertujuan untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat desa, tetapi dengan semakin banyaknya korban "bank emok", efektivitas dana desa menjadi dipertanyakan.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun