Mohon tunggu...
IDRIS APANDI
IDRIS APANDI Mohon Tunggu... Penulis - Penikmat bacaan dan tulisan

Pemelajar sepanjang hayat.

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Artikel Utama

Wacana Impor Guru hingga Rendahnya Minat Milenial Menjadi Guru

12 Mei 2019   23:02 Diperbarui: 15 Mei 2019   12:21 600
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi Guru. (Kompas)

Ada temuan yang cukup miris dari angket yang disebarkan Balitbang Kemdikbud kepada 512.500 siswa peserta UNBK 2019. Siswa yang tidak mau menjadi guru sebanyak 89 persen dan sisanya 11 persen ingin menjadi guru. 

Mayoritas responden yang hendak menjadi guru adalah perempuan. Dan ironisnya, yang bercita-cita menjadi guru bukanlah berasal dari siswa yang memiliki prestasi akademik yang menonjol, tetapi prestasi yang biasa-biasa saja pada mapel Bahasa Indonesia, Bahasa Inggris, dan Matematika.

Berdasarkan kepada data di atas, dapat disimpulkan bahwa guru bukan menjadi profesi idaman generasi millenial. Mengapa demikian? Karena profesi guru dinilai kurang menjanjikan dari sisi kesejahteraan, walau sebenarnya pascadigulirkannya sertifikasi tahun 2006, profesi guru mulai dilirik sebagai profesi yang menjanjikan. 

Tetapi seiring dengan perkembangan zaman, nampaknya generasi millenial lebih tertarik menjadi pengusaha, berwirausaha, bergerak di sektor ekonomi kreatif, atau menjadi vlogger, karena jenis usaha tersebut dinilai akan lebih cepat mendatangkan uang, lebih otonom, bebas mengurus usaha diri sendiri, tanpa diatur atau dikendalikan oleh pihak lain. 

Sedangkan menjadi guru, disamping dihadapkan pada seabreg administrasi yang harus dikerjakan, juga bekerja di bawah bayang-bayang pelanggaran Undang-undang Perlindungan Anak (UUPA), dan dihantui kriminalisasi dari orang tua siswa.

Sebenarnya menjadi wirausahawan merupakan hal yang bagus. Negara ini perlu banyak wirausahawan untuk dapat menjelma menjadi negara maju dan kompetitif. Rata-rata negara maju memiliki sebanyak 14 persen wirausahawan dari total jumlah penduduknya, sedangkan di Indonesia baru sekitar 3,1 persen saja. Hal ini tentunya masih jauh, dan Indonesia harus mengejar ketertinggalan dari negara-negara lain.

Untuk mengejar ketertinggalan dari negara-negara maju, sektor pendidikan sebenarnya diharapkan menjadi lokomotif peningkatan mutu dan daya saing bangsa. Oleh karena itu, diperlukan sumber daya manusia (SDM) yang berkualitas.

Sedangkan di sisi lain, banyak generasi millenial yang potensial dan cerdas justru tidak tidak tertarik menjadi guru. Kalau realitanya demikian, harapan untuk mendapatkan guru yang berkualitas seperti halnya di negara seperti Finlandia atau Korea Selatan sulit untuk terwujud.

Dibalik puja-puji terhadap profesi guru sebagai ujung tombak pendidikan, profesi guru masih menjadi profesi yang kurang bergengsi, diperhitungkan, atau bahkan kurang membanggakan. Hal sederhana yang mungkin bisa menjadi ukuran adalah apakah setiap anak guru ingin menjadi guru? atau apakah setiap guru ingin anaknya menjadi guru? Saya kira hasilnya tidak akan linier. 

Profesi orang tua sebagai guru belum tentu menjadi inspirasi atau profesi idola bagi anak-anaknya. Mengapa demikian? Karena disamping faktor bakar dan minat, tidak tertutup kemungkinan juga karena sang anak melihat kondisi kehidupan orang tuanya yang guru tersebut, apalagi (maaf) guru honorer kalah sejahtera secara ekonomi dibandingkan dengan kalangan wirausahawan.

Dengan kata lain, diakui atau tidak, profesi guru masih menjadi profesi kelas dua di negeri ini. Ada mahasiswa yang kuliah ke prodi keguruan karena tidak diterima di prodi ilmu-ilmu murni. Ada sarjana nonkeguruan yang menjadi guru karena tidak tertampung di dunia kerja yang sesuai dengan latar belakang pendidikannya.

Masih rendahnya kualitas guru sering menjadi sorotan. Hal ini setidaknya terlihat dari rendahnya hasil Uji Kompetensi Guru (UKG) dan masih rendahnya kualitas lulusan sebagai produk proses pembelajaran yang dilakukan oleh guru, sedangkan dana puluhan trilyun digelontorkan untuk membayar Tunjangan Profesi Guru (TPG) belum mampu meningkatkan kualitas guru. Walau demikian, mutu pendidikan sebenarnya bukan hanya ditentukan oleh mutu guru saja, tetapi juga ditentukan oleh hal lain, seperti kurikulum, sarana dan prasarana, dan pendanaan.

"Banyak generasi millenial yang potensial dan cerdas justru tidak tidak tertarik menjadi guru. Kalau realitanya demikian, harapan untuk mendapatkan guru yang berkualitas seperti halnya di negara seperti Finlandia atau Korea Selatan sulit untuk terwujud."

Munculnya resistensi terhadap wacana Menko PMK Puan Maharani untuk mengundang (atau di media banyak disebut mengimpor) guru luar negeri oleh sebagian pendidik menurut saya menjadi ironi ditengah rendahnya minat generasi millenial menjadi guru, karena di satu sisi menolak kehadiran guru asing dengan berbagai alasan, sedangkan di sisi lain, minat pelajar yang prestasi akademiknya menonjol menjadi guru rendah.

Berdasarkan klarifikasi dari Mendikbud Muhadjir Effendy, rencana mengundang guru atau pelatih dari luar negeri bertujuan untuk melatih guru-guru dalam bentuk Training of Trainer (ToT). Guru yang didatangkan dari luar negeri  akan lebih fokus pada untuk mendidik guru pada pendidikan vokasi dan Balai Latihan Kerja (BLK). Hal ini untuk menyikapi revolusi industri 4.0 dan menyiapkan generasi emas Indonesia tahun 2045.

Hal ini dianggap lebih efisien dibandingkan memberangkatkan guru kursus ke luar negeri, walau tetap program pengiriman guru ke luar negeri akan dilaksanakan. Setelah tahun 2019 Kemdikbud memberangkatkan sebanyak 1200 orang guru, terget berikutnya adalah memberangkatkan 7000 orang guru ke luar negeri.

Pertanyaannya adalah bagaimana meningkatkan minat generasi millenial menjadi guru? menurut saya, upaya yang perlu dilakukan oleh pemerintah antara lain; (1) jadikan guru sebagai profesi yang ekslusif, elit, terhormat, dan mendapatkan upah yang tinggi dari negara. Hal ini bukan mendidik guru untuk matre, tetapi sebagai bentuk apresiasi dan kompensasi terhadap profesionalismenya.

Kadang ironis, saat ada lulusan sebuah sekolah telah sukses menjadi "orang" bersilaturahmi ke sekolah dengan penampilan perlente dan menggunakan kendaraan yang bagus. 

Melihat hal tersebut, disamping bangga, ada perasaan minder dari guru, khususnya guru honorer, karena dia merasa kalah sejahtera dibandingkan muridnnya, sedangkan murid-muridnya karirnya telah maju pesat. 

Hal ironis lainnya adalah saat guru suka memotivasi murid-muridnya untuk melanjutkan pendidikan dan meraih cita-citanya, dia sendiri kesulitan menguliahkan anak-anaknya ke perguruan tinggi, walau kadang tertatih-tatih dengan segala daya dan upaya akhirnya dapat juga menguliahkan anaknya.

(2) lulusan LPTK terbaik prioritaskan untuk diangkat menjadi guru, tidak perlu dites lagi. Untuk menjadi guru, seorang calon guru harus memiliki kompetensi pedagogik, profesional, kepribadian, dan sosial. 

Hal ini akan menjadikan profesi guru sebagai profesi yang terhormat dan terpandang. (3) Berikan berbagai kemudahan dan fasilitas kepada guru, seperti jaminan perumahan dan kesehatan supaya mereka bisa fokus melaksanakan tugas.

Adalah wajar jika generasi millenial memilih menjadi pengusaha ditengah semakin terbatasnya lapangan kerja, tetapi perlu juga mereka didorong untuk menjadi guru, karena guru akan menjadi agen perubahan (agent of change). 

Satu orang guru yang berkualitas akan melahirkan ribuan lulusan yang berkualitas, dan ribuan lulusan yang berkualitas akan menjadi aset berharga untuk pembangunan bangsa. Itulah hebat dan dahsyatnya menjadi guru. Wallaahu a'lam.

Oleh:
IDRIS APANDI
(Praktisi Pendidikan)

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun