Oleh:
IDRIS APANDI
Semangat membangun dan menggelorakan budaya literasi semakin menggema dalam beberapa tahun terakhir. Hal ini dilandasi oleh posisi Indonesia yang masih rendah dalam bidang literasi. Hasil penelitian UNESCO tahun 2012 menyebutkan bahwa minat baca masyarakat Indonesia hanya 0,001. Artinya, hanya 1 dari 1000 orang yang memiliki minat baca. Selebihnya, belum memiliki minat baca, dalam artian membaca buku atau bahan cetak. Kantor perpustakaan nasional mencatat 90 persen penduduk usia di atas 10 tahun gemar menonton televisi, tapi tidak suka membaca buku.
Berdasarkan hasil survei yang dilakukan UNDP, menunjukan Indeks Pembangunan Manusia (IPM) Indonesia pada 2014, menempati urutan 108 dari 187 negara di dunia. IPM Indonesia lebih tinggi dibandingkan Myanmar, Laos, Kamboja, Vietnam dan Filipina. Tapi IPM Indonesia kalah jauh bila dibandingkan Singapura yang menempati posisi 9, dan Brunei Darussalam, Malaysia dan Thailand. (Metro TV News, 28/10/2015).
Programme for International Student Assessment (PISA) menyebut, budaya literasi masyarakat Indonesia pada 2012 terburuk kedua dari 65 negara yang diteliti di dunia. Indonesia menempati urutan ke 64 dari 65 negara tersebut. Sementara Vietnam justru menempati urutan ke-20 besar.
Secara legal formal, upaya pemerintah untuk meningkatkan budaya literasi khususnya di sekolah diamanatkan melalui Permendikbud Nomor 23 Tahun 2015 tentang Penumbuhan Budi Pekerti, dimana salah satunya adalah siswa ditugaskan untuk membaca buku non pelajaran selama 15 menit sebelum kegiatan pembelajaran. selain itu, cukup banyak bentuk gerakan literasi di sekolah, seperti optimalisasi perpustakaan, pojok baca di kelas, majalah dinding, laporan buku, dan sebagainya.
Gerakan literasi yang saat ini diprogramkan oleh pemerintah lebih lebih fokus ke sekolah khususnya membidik siswa sebagai sasarannya, sementara gurunya belum mendapatkan perhatian, padahal guru merupakan sosok yang bisa menjadi motor sekaligus motivator bagi para siswa. Sebelum membentuk siswa yang literat, guru terlebih dahulu yang harus literat. Intinya, guru harus menjadi teladan bagi siswanya.
Gerakan literasi bukan hanya tanggung jawab pemerintah, tetapi tanggung jawab semua pihak, mulai dari orang tua, pemerintah, dan masyarakat. Semua pihak harus bersinergi, saling mendukung, dan bekerja sama dalam mewujudkannya. Penyiapan generasi emas 2045 membutuhkan manusia-manusia yang literat agar dapat bersaing di masa globalisasi dan Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA).
Berkaitan dengan hal tersebut di atas, Komunitas Pegiat Literasi Jabar (KPLJ) yang didirikan di Bandung Barat tanggal 29 Oktober 2016 ingin menjadi bagian dari elemen masyarakat yang menjadi penggerak literasi di kalangan guru. Saat ini guru harus menulis karya tulis (KTI) ilmiah sebagai salah satu bentuk pengembangan profesinya.
Embrio dari lahirnya KPLJ adalah pada saat pelatihan menulis yang dilaksanakan oleh Yayasan Pendidikan Islam (YPI) Darul Qomar Al Madani pada tanggal 28-29 Mei bertempat di Lembaga Penjaminan Mutu Pendidikan (LPMP) Jawa Barat. Dari hasil pelatihan tersebut, lahirlah buku GURU MENYEMAI BENIH LITERASI yang merupakan kumpulan artikel. Buku tersebut dibedah pada tanggal 29 Oktober 2016 di LPMP Jawa Barat.
Pasca melahirkan buku “keroyokan” yang pertama, KPLJ menerbitkan buku “keroyokan” yang kedua, yaitu buku BERPUISI, BANGUN BUDAYA LITERASI (SEBUAH ANTOLOGI) yang akan diluncurkan pada tanggal 19 Februari 2017. Tidak berhenti di situ, tahun ini, KPLJ pun sudah ancang-ancang menerbitkan buku-buku berikutnya.