Mohon tunggu...
IDRIS APANDI
IDRIS APANDI Mohon Tunggu... Penulis - Penikmat bacaan dan tulisan

Pemelajar sepanjang hayat.

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan

Integritas Profesi Guru

14 Juni 2013   07:43 Diperbarui: 24 Juni 2015   12:03 1569
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Gadget. Sumber ilustrasi: PEXELS/ThisIsEngineering

Integritas profesi guru untuk kesekian kalinya tercoreng. Dalam beberapa waktu terakhir, ada tiga kasus yang muncul. Tanggal 27 Mei 2013, seorang guru SD di Depok dilaporkan ke polisi karena diduga mencabuli tujuh orang siswinya. Tanggal 28 Mei 2013, seorang Kepala SMAN di Kota Tangerang ditangkap polisi karena menggunakan narkotika jenis sabu. Kemudian tanggal 3 Juni 2013, seorang Kepala SMKN di Kota Bandung juga dilaporkan ke polisi atas dugaan pelecehan seksual kepada lima orang siswinya. Selain tiga kasus tersebut, sudah banyak kasus yang melibatkan guru baik kasus kekerasan, asusila, dan penyalahgunaan narkotika.

Dalam kamus Bahasa Indonesia disebutkan bahwa integritas adalah mutu, sifat, atau keadaan yang menunjukkan kesatuan yang utuh sehingga memiliki potensi dan kemampuan yang memancarkan kewibawaan; kejujuran. Seseorang yang memiliki integritas adalah yang bisa menjaga harga diri, martabat, dan wibawanya. Seseorang yang memiliki integritas, akan tahan terhadap berbagai macam godaan karena dia sadar hal tersebut bisa menjerumuskannya kepada kehinaan.

Saat ini, bukan hanya dalam konteks pendidikan, dalam konteks kehidupan yang lebih luas, sulit sekali mencari sosok yang memiliki dan mampu menjaga integritasnya. Banyak pejabat yang masuk penjara karena terlibat korupsi. Banyak orang yang awalnya memiliki integritas, tetapi ketika sudah masuk ke dalam sistem yang kurang baik, maka sedikit demi sedikit integritasnya menurun. Banyak yang dulu adalah aktivitas mahasiswa, aktivis LSM yang dengan lantang menyuarakan antikorupsi, tapi ketika sudah menjadi pejabat, juga terlibat korupsi. Banyak figur yang dulunya diposisikan sebagai pemimpin dan tokoh tapi ternyata terjerumus juga kepada hal-hal yang buruk. Menjaga integritas itu memang bukan hal yang mudah, tapi butuh perjuangan yang sangat luar biasa, bahkan harus siap dibenci, diasingkan, dan disingkirkan oleh pihak-pihak yang tidak suka.

Kita tentu prihatin dengan adanya kasus-kasus yang melibatkan guru. Karena guru merupakan sosok yang harus jadi contoh dan panutan anak didiknya justru mencoreng citra diri, profesi, dan pendidikan secara umum. Memang benar, diantara segelintir guru yang melakukan perilaku tidak terpuji, masih sangat banyak guru memiliki integritas dan mampu menjadi teladan bagi anak didiknya. Tapi ibarat pribahasa “karena nila setitik, rusak susu sebelanga”. Karena kelakuan segelintir oknum guru, maka citra guru secara umum tercoreng. Hal ini harus menjadi bahan evaluasi sekaligus bahan introspeksi bagi kita insan pendidikan untuk sama-sama menjaga citra dan martabat guru, meskipun kita pun sadar bahwa guru juga manusia, bukan malaikat. Guru sewaktu-waktu bisa saja melakukan kesalahan, tetapi setidaknya dengan munculnya berbagai kasus tersebut, para guru harus menjaga jangan sampai hal tersebut menimpa pada dirinya.

Seiring dengan semakin kritisnya masyarakat terhadap Hak Asasi Manusia (HAM) dan semakin banyaknya media saat ini, maka sedikit apapun kesalahan yang dilakukan oleh guru, akan dengan sangat cepat tersebar. Meskipun berita-berita negatif tersebut belum tentu benar, tetapi karena beritanya sudah terlanjur menyebar, maka nama baik guru tersebut sudah terlanjur buruk di mata publik dan kadang sulit untuk dikembalikan. Guru harus semakin hati-hati dengan perkataan, sikap, dan perbuatannya karena sebagai pendidik akan banyak disorot baik oleh orang tua, publik, dan media.

Ramainya kasus yang diduga melibatkan guru, telah menurunkan citra guru dan pendidikan secara umum. Menurut Penulis, ketika ada pelanggaran yang dilakukan oleh guru jangan dulu diproses secara hukum. Kepala Sekolah, Pengawas, Dinas Pendidikan memberikan pembinaan dan diselesaikan secara musyawarah kecuali jika perbuatannya sudah berulang-ulang, sudah sulit dibina lagi, baru diproses secara hukum. Pihak orang tua siswa yang merasa dirugikan oleh guru sebelum lapor LSM atau polisi, lebih baik datang ke sekolah terlebih dahulu untuk mengklarifikasi dan menyelesaikannya secara musyawarah.

Kompetensi Kepribadian Guru

Dalam pasal 1 ayat (1) undang-undang Nomor 14 tahun 2005 dijelaskan bahwa Guru adalah pendidik profesional dengan tugas utama mendidik, mengajar, membimbing, mengarahkan, melatih, menilai, dan mengevaluasi peserta didik pada pendidikan anak usia dini jalur pendidikan formal, pendidikan dasar, dan pendidikan menengah. Selanjutnya pada pasal 10 ayat (1) dinyatakan bahwa guru harus memiliki empat aspek kompetensi, yaitu kompetensi pedagogik, kompetensi kepribadian, kompetensi sosial, dan kompetensi profesional.

Berdasarankan kepada uraian tersebut di atas, Penulis melihat banyaknya pelanggaran hukum dan pelanggaran asusila yang dilakukan oleh guru tidak lepas dari rendahnya kompetensi kepribadian guru. Permendiknas Nomor 16 tahun 2007 tentang Standar Kualifikasi Akademik dan Kompetensi Guru, kompetensi kepribadian yang harus dimiliki oleh guru sebagai berikut: 1) bertindak sesuai dengan norma agama, hukum, sosial, dan kebudayaan Indonesia 2) menampilkan diri sebagai pribadi yang jujur, berakhlak mulia, dan teladan bagi peserta didik dan masyarakat, 3) menampilkan diri sebagai pribadi yang  mantap, stabil, dewasa, arif dan berwibawa, menunjukkan etos kerja, tanggung jawab yang tinggi, rasa bangga menjadi guru, dan rasa percaya diri, 5) menjunjung tinggi kode etik profesi guru. Berdasarkan kepada hal tersebut, maka seorang guru yang memiliki kompetensi kepribadian tentunya adalah pribadi yang bisa menampilkan kelima hal tersebut.

Undang-Undang Perlindungan Anak

Selain harus memiliki kompetensi kepribadian, untuk menjaga agar yang diucapkan dan dilakukan oleh guru tidak melanggar perlindungan anak, maka seorang guru pun perlu mengetahui dan memahami Undang-undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak. Tujuannya agar guru tahu apa saja ruang lingkup perlindungan anak. Dalam banyak kasus kekerasan dan pencabulan terhadap anak didik, guru banyak dituduh melanggar UU Perlindungan anak. Karena belum tahu tentang UU Perlindungan Anak, banyak guru menganggap hal yang dilakukannya terhadap anak didik, dalam pandangannya tidak termasuk kekerasan terhadap anak, tetapi berdasarkan UU Perlindungan anak, hal tersebut termasuk melanggar perlindungan anak. Dengan demikian, kompetensi kepribadian dan pemahaman guru terhadap UU perlindungan anak sebagai  upaya menjaga integritas profesi guru.

Penulis, Widyaiswara Lembaga Penjaminan Mutu Pendidikan (LPMP) Jawa Barat.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun