Mohon tunggu...
Mh Firdaus
Mh Firdaus Mohon Tunggu... Wiraswasta - Penulis

Penulis dan Traveler amatir. Menggali pengetahuan dari pengalaman terus membaginya agar bermanfaat bagi banyak khalayak..

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Artikel Utama

"Maskulinitas" dalam KDRT

17 Mei 2018   10:33 Diperbarui: 17 Mei 2018   20:02 2138
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
ilustrasi. (pixabay.com)

Namun begitu, -- menurut psikolog dan ahli hukum -- itu tidak bisa dijadikan alasan pelaku, karena ia merusak hak asasi korban (perempuan) dan bahkan telah "mengontrol" perempuan.    

Ketiga, setelah ledakan emosi kekerasan (after the explosion). Meski pria terkadang melakukan kekerasan dengan cara yang berbeda-beda, namun ada tiga tipe respon setelahnya. Yaitu; penyesalan (remorse), penyalahan (blame), dan penyangkalan (denial). 

Dalam kondisi penyesalan, pelaku merasa tidak berdaya (helplessness) dan seringkali menyalahkan diri sendiri. Ia berusaha meyakinkan pasangannya bahwa hal itu tidak terulang kembali. Janji pun dibuat dengan diiringi pemberian hadiah dan memperbaiki berbagai hal yang dihancurkan. Namun itu sepertinya "lipservice", untuk menutupi keteledorannya.

Sementara dalam kondisi penyalahan (blame), pelaku tak jarang menyalahkan pasangan. Ia beralasan bahwa berbuat demikian karena pasangan "memprovokasi"nya melalui alasan anak yang menyusahkan atau problem keuangan keluarga. 

Kemudian di dalam periode penyangkalan, beberapa pelaku tidak mengakuinya. Ia hanya sedikit mendorong. Bagaimana mungkin itu bisa terjadi? Ia mengelak dan berujar bahwa itu hanya kehilangan control.

Keempat, kekerasan itu ternyata berulang karena tidak ada perubahan perilaku pelaku. Meski begitu, ada satu periode dimana sesuatu terlihat tenang dan kondisi berubah. Di sinilah korban perlu hati-hati dengan situasi ini. Apalagi pelaku tidak datang dengan rencana yang meyakinkan tentang agenda perubahan setelah tindakan kekerasan. 

Siklus diatas mungkin berbeda untuk kasus kekerasan tertentu. Namun secara umum -- ini hasil informasi lembaga konseling dari korban -- siklus kekerasan terjadi. Diharapkan korban khususnya dan orang sekitarnya mengetahui siklus tersebut untuk bersiap bila KDRT meledak.   

Kekerasan Berbasis Gender

Menurut Dr. Dallas colley, ahli dan trainer "Domestic Violence" Australia, ada sejumlah faktor penyebab KDRT. Diantaranya; budaya yang memberikan "preference" kepada laki-laki (partriarki), mindset masyarakat yang belum bertindak setara dan adil, diskriminasi, ketidakmandirian ekonomi, dan penggunaan minuman keras serta penggunaan obat-obatan pada pelaku.   

Menurut penulis, akar mendalam dari kekerasan -- khususnya KDRT -- adalah masih kuatnya budaya partriarki. Yaitu satu sistem pengelompokan masyarakat sosial yang mendahulukan (dan mementingkan) urutan keturunan laki-laki/bapak (Sastryiani S.S.H; 2007, "Glosarium, Seks dan Gender"). 

Dalam situasi seperti ini kekerasan KDRT berpotensi terus berulang. Karena kebiasaan yang tumbuh adalah ketidaksetaraan dan ketidakadilan berlandaskan kontruksi gender. Dengan kondisi yang tidak setara, satu pihak (kebanyakan laki-laki) ingin "mengontrol" dan "berkuasa" atas tubuh pasangannya (kaum perempuan).

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun