Mohon tunggu...
Ida Raihan
Ida Raihan Mohon Tunggu... Penulis - Ibu Rumah Tangga yang suka menulis

A Blogger | A Writer | A Mother | http://www.idaraihan.com | Email: idaraihan@gmail.com | Twitter/Instagram: @idaraihan | Sempat menulis di beberapa buku Antology keroyokan, duet dalam buku Motovasi "TKW Menulis". Juga sempet menulis Solo di Novel, "Cintaku di Negeri Jackie Chan"

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Wirausaha yang Merugikan

7 April 2018   09:43 Diperbarui: 7 April 2018   10:49 282
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber: https://news.okezone.com

Orang yang memiliki jiwa pengusaha, memang tidak akan pernah bisa bertahan  menjadi karyawan. Itu pula yang kami rasakan, ketika terpaksa harus menutup warung makan kami dan bekerja sebagai karyawan pabrik pada pertengahan 2016 lalu. Satu tahun bekerja rasanya sudah gelisah sepanjang perjalanan hidup saat itu.

Memasuki tahun 2017, setiap kali pulang kerja dan libur akhir pekan, kami (saya dan suami) pergi mengelilingi kota mencari peluang usaha apa yang sekiranya bisa kami lakukan keembali. Pada saat itulah, kami menemukan pelajaran yang sangat penting bagi kami (mungkin juga buat pembaca). Di beberapa titik saya lihat pemandangan yang tidak mengenakkan sekali. Usaha di depan usaha. Belibet ya bahasanya?

Ya, usaha di depan usaha. Maksudnya adalah, seseorang yang membangun usahanya di depan bangunan usaha orang lain. Sehingga bangunan usaha di belakangnya tidak terlihat dengan jelas. Kami satu kesempatan, kami harus berhenti lebih lama guna memperhatikan sebuah warteg yang sepi pembeli meskipun berada di tempat ramai. Dari depan, warteg ini sama sekali tidak terlihat karena tertutup tiga warung portable. Mungkin mereka sudah membuat kesepakatan yang sama sama dianggap menguntungkan, mungkin juga tidak. Yang jelas, pemandangan ini sungguh tidak enak untuk dilihat.

Di kesempatan berikutnya, ketika kami hendak belanja alat keperluan usaha, kami harus berkali-kali mondar-mandir sebuah pasar untuk mencari toko perabot yang disebutkan oleh beberapa orang yang saya tanyai. Ketika kami berhasil menemukan, sungguh miris, untuk menuju toko ini hanya ada gang kecil yang jalannya pun digenangi air comberan.

"Dulunya tidak begini, Mbak. Tapi sejak ada biaya turun untuk pedagang kaki lima, jalanan jadi penuh tenda. Saya berusaha protes, tapi yah... begitulah." Ucap pemilik toko perabot yang tokonya sama sekali tidak tampak dari jalan.

Teringat salah seorang kenalan, ketika suatu sore saya kunjungi kediamannya, dia menceritakan keinginannya untuk pindah ruko tempatnya berwirausaha. Saya penasaran karena saya tahu dia sudah lama menyewa ruko yang saat itu ia gunakan untuk menjual camilan produksinya. Tempatnya juga strategis, berada di sisi tikungan jalan yang sangat ramai kendaraan lewat.

"Gimana lagi, toko saya jadi tidak kelihatan sejak ada penjual lain di depan ruko." Ucapnya. Dia benar, toko dia memang tidak terlihat jika penjual makanan yang memasang tenda portable di depan rukonya mulai buka pada sore hari. Walaupun pemilik tenda tersebut hanya buka pada jam 17:00 -- 22:00, itu sudah dianggap merugikan penyewa ruko. Ketika saya tanya mengenai uang sewa tenda tersebut, penjual camilan yang telah menyewa ruko itu mengaku bahwa sewa dari tenda tidak masuk kepadanya, karena halaman ruko tidak termasuk milik empunya ruko. Apalagi posisi tenda sangat mepet dengan jalan.

Sepertinya, pemerintah perlu turun tangan untuk masalah ini. Semoga segera ada solusi.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun