Sekolah seharusnya menjadi tempat menuntut ilmu. Namun sayangnya, tak jarang suara bentakan menggema, menuntut siswa yang 'lemah' untuk mematuhi siswa yang 'kuat'. Kenakalan remaja seperti perundungan, bolos, dan tawuran menjadi cerminan krisis moral yang kian meresahkan. Apa sebenarnya yang melatarbelakangi fenomena ini?
Â
Menurut laporan KemenPPPA, pelaku kekerasan usia 13-17 tahun mencapai 12,1%. Remaja yang terjebak dalam lingkungan pertemanan yang buruk cenderung ikut-ikutan melakukan perilaku negatif. Tekanan teman sebaya (peer pressure) sering menjadi alasan utama. Demi diterima dalam kelompok, banyak remaja rela melanggar aturan sekolah, membolos, merokok, bahkan ikut merundung siswa lainnya. Mereka cenderung takut dikucilkan atau dianggap tidak gaul jika menolak perilaku yang menyimpang.
Selain itu, pengaruh media sosial dan internet juga tidak dapat diabaikan. Di era digital ini, remaja sangat mudah terpapar berbagai konten yang tidak sesuai usia mereka. Tayangan kekerasan, perundungan daring (cyber bullying), hingga tren tidak bermutu lainnya menjadi tontonan sehari-hari yang sangat mudah diakses pada platform digital seperti tiktok, youtube, maupun instagram. Hal ini, dapat membentuk pola pikir yang menyimpang dan remaja dapat meniru perilaku buruk yang mereka lihat secara daring tanpa memahami konsekuensinya.
Kenakalan remaja tidak hanya merugikan pelaku, tetapi juga teman-teman sebaya hingga pihak sekolah. Banyak dampak negatif yang dihasilkan, salah satunya adalah bolos dapat menyebabkan siswa ketinggalan materi dan kehilangan kesempatan dalam pembelajaran di kelas. Hal ini dapat menyebabkan kehilangan fokus hingga prestasi akademik menurun.
Selain itu, korban kekerasan maupun perundungan rentan mengalami tekanan psikologis dan gangguan mental. Jika hal ini terus berlanjut seorang yang awalnya korban dapat menjadi pelaku karena muak ditindas terus-menerus.
Pada akhirnya, citra sekolah dapat tercoreng dengan banyaknya kasus kenakalan yang terjadi di lingkungan sekolah. Hal ini akan menyebabkan masyarakat terutama orang tua kehilangan kepercayaan untuk menyekolahkan anaknya di sekolah tersebut.
Untuk mengatasi masalah ini, diperlukan kerja sama antara keluarga, sekolah, dan masyarakat. Lingkungan keluarga harus memberikan pendidikan moral, perhatian, dan kasih sayang yang cukup. Lakukan pendekatan dan jangan terlalu memaksakan kehendak pada anak. Dibarengi dengan lingkungan sekolah menegakkan disiplin yang tegas, menyediakan ekstra kurikuler sebagai wadah untuk menyalurkan bakat dan emosi secara sehat serta memberikan bimbingan konseling. Menurut penelitian UPI, layanan konseling yang baik, efektif membantu siswa mengatasi masalah emosional. Dan yang terakhir, lingkungan masyarakat harus membiasakan penerapan nilai-nilai  moral dan norma-norma dengan sanksi sehingga menjadi percontohan kehidupan bermasyarakat yang baik untuk remaja. Selain itu, masyarakat dibantu dengan pemerintah sekitar dapat menyediakan fasilitas balai pelatihan keterampilan bagi remaja agar dapat lebih produktif.