Mohon tunggu...
Ichsan Andika
Ichsan Andika Mohon Tunggu... Lainnya - ...selama ia tidak menulis, ia akan hilang didalam masyarakat dan dari sejarah. Menulis adalah bekerja untuk keabadian

Ernst Schnabel meninggal 25 Januari 1986. Siapa tau ada hubungannya

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Tapak Petilasan Sabrang Wetan

27 Maret 2020   09:31 Diperbarui: 27 Maret 2020   09:47 203
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

"Sendika, Kanjeng Nabi. Paranoia Ramoses membelah bangsawan Mesir di Luxor menjadi beberapa faksi. Yang paling kuat tentu faksi Haman. Tapi, tidak mayoritas, hanya seperempat. Sisanya, jijik dengan kelakuan Ramoses yang membunuhi bayi-bayi. Jika bayi yang jelas-jelas tak berdaya dan tak berdosa saja dengan tega bisa ia habisi, apalagi para bangsawan licik berlendir itu. Hamba tak terlibat dalam pembuatan keputusan itu. Tapi, hamba tahu jelas alasan kenapa bayi budak Yahudi yang diincar. Meminimalisir kegemparan. Penduduk kelas menengah atas di Luxor tentu boleh bernapas lega setelah tahu bahwa yang dibunuh hanya bayi merah laki-laki dari kalangan budak. Dengan begitu, paranoia Ramoses tetap terpuaskan oleh Haman, dan kondisi sosial masyarakat pribumi Luxor tak terganggu. Secara politik jangka pendek, Haman menang banyak."

Terlihat sekali Kanjeng Nabi Musa bergidik mendengar keterangan Iblis. Tentu saja, aku masih ingat betapa Mbakyu Miriam menangis menahan Ibunda Yukabad agar Dimas Musa yang masih merah tidak dimasukkan ke panci air mendidih. Dan betapa, kejadian yang sangat mengerikan itu hanya sekedar permainan kekuasaan segelintir orang diatas singgasana belaka.

"Namun, justru disitulah ayat Allah muncul, betapa lemahnya kehendak manusia. Jika Allah berkehendak, Firaun Ramoses II sebagai manusia terkuat sejagat pun tak berarti sebiji jagung. Secara politik jangka panjang, Ramoses dan Haman tidak memperhitungkan skenario sang pembalas dendam."

Tiga kata terakhir ia tekankan sambil jempolnya menunjuk Dimas Musa.

"The Avenger..."

"Teruskan, Iblis. Jangan ngelantur!"

"Secara jangka panjang, keputusan keji Firaun dan Ramoses justru jadi pintu masuk hancurnya kekuasaan istana Mesir. Kini, dengan morat-maritnya perekonomian dan sosial kemasyarakatan akibat wabah yang baru saja, serta lenyapnya semua punggawa ring 1 istana ditelan Laut Merah, maka Mesir jadi ajang perebutan kekuasaan. Free for all. Secara jangka panjang, mereka sudah kalah sedari dulu."

"Kau bahkan belum memulai cerita misimu, Iblis."

"Oh baik, tentu saja, Paduka Nabi Harun. Kekejian dan jebakan rasa aman itulah yang jadi jalan masuk hamba untuk merusak tatanan kekuasaan Firaun. Cekcok batin antara para bangsawan, napsu kekuasaan untuk mendapatkan proyek, saling merendahkan sesama manusia, hilangnya kepercayaan antara rakyat dengan pemerintahan, adalah resep paling jitu untuk menghancurkan sebuah peradaban."

"Ya, betul itu apa adanya." Kanjeng Nabi Musa memotong bicara, "masa remaja dan mudaku dikelilingi oleh pemakan daging bangkai. Saling sikut saling tusuk itu sudah biasa. Aku yang masih muda perjaka saja sudah ditarik-tarik sana-sini. Makanya, aku tak tahan. Alhamdulillah Tuhan memberiku perut yang lemah akan kelicikan. Setiap perutku mual melihat kelakuan bangsawan Mesir, aku pasti kabur keluar istana. Main ke pasar malah sampai ke kampung Yahudi."

Beliau mengenang. Mungkin teringat peristiwa Mbakyu Miriam membocorkan asal-usul Kanjeng Nabi saat tak sengaja ketemu di gang. Atau mungkin, mengingat betapa ia menjadi target kecurigaan Firaun karena semakin dewasa semakin tidak mirip orang Mesir. Dan semakin dewasa, semakin sering membela orang tertindas, yang kebetulan mayoritas etnis Yahudi. Padahal, kemurnian nurani beliau lah yang membawanya pada sikap tersebut.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
  9. 9
  10. 10
  11. 11
  12. 12
  13. 13
  14. 14
  15. 15
  16. 16
  17. 17
  18. 18
  19. 19
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun