Mengutip dari Ungkapan Satire dan Sarkasme dalam Charlie Hebdo tulisan Sri Ratnawati, satire pada dasarnya digunakan untuk menyindir secara halus, bahkan bisa dijadikan sebagai lelucon.Â
Soe Hok Gie begitu identik dengan satir-satirnya yang tajam. Salah satu satire Gie yang cukup terkenal adalah ketika rekan-rekan seperjuangan mahasiswanya di KAMI, menduduki kursi parlemen pasca jatuhnya pemerintahan Soekarno.Â
Gie mengirimkan hadiah yang isinya bedak dan gincu ke gedung DPR. Hal itu merupakan bentuk satire kepada rekan-rekan seperjuangannya di KAMI yang dahulu melawan kekuasaan dan malah berbalik menjadi penikmat jabatan. Gie mengartikan itu adalah sikap banci bukan kesatria. "Lebih baik diasingkan, daripada menyerah pada kemunafikan." kata Gie.Â
Bung Karno sebagai proklamator kemerdekaan pun tak lepas dari satir-satir Gie, dalam buku hariannya Gie menuliskan, "Siang tadi aku bertemu dengan seseorang tengah memakan kulit mangga... Dua kilometer dari sini 'Paduka' (Presiden Soekarno) kita mungkin sedang tertawa dan makan-makan dengan istri-istrinya yang cantik-cantik."
Walaupun Gie sangat kritis terhadap Soekarno hingga pemerintahannya tumbang, bukan berarti ia mendukung pemerintahan setelahnya. Gie tetap senantiasa bersikap kritis kepada penguasa selanjutnya, yakni Soeharto. Itu membuktikan, bahwa kritik Gie terhadap pemerintahan Soekarno bukan didasari kebencian secara personal pada sosok Bung Karno dan Gie juga tidak sedikit pun mengincar kursi jabatan setelah Bung Karno tumbang. Gie hanya melaksanakan peran sebagai seorang akademisi yaitu menjadi pengawas kebijakan-kebijakan para penguasa yang seringkali tidak berpihak pada rakyat.
Beberapa kali Gie ditawarkan untuk menduduki kursi parlemen, namun ia tolak mentah-mentah. Kritik tajam Soe Hok Gie juga dapat kita lihat pada kasus pembantaian ribuan rakyat Indonesia yang dituding anggota atau simpatisan Partai Komunis Indonesia (PKI).
Soe Hok Gie merupakan sosok yang penuh kontradiksi. Dia gencar mengkritik PKI, tetapi menjadi orang pertama yang memprotes keras terjadinya pembantaian massal terhadap anggota dan simpatisan PKI tahun 1965-1966. Sebab, dia menganggap itu adalah pelanggaran Hak Asasi Manusia. Menghakimi, tanpa adanya peradilan di meja hijau.
Soe Hok Gie juga turun ke lapangan dan mengumpulkan data-data mengenai pembantaian tersebut yang kemudian ditulis menjadi dua serial artikel dengan nama samaran Dewa. Artikel itu berjudul "Di Sekitar Peristiwa Pembunuhan Besar-Besaran di Pulau Bali." Gie sering mendapat ancaman dan teror semenjak artikelnya itu terbit.
"Nasib terbaik adalah tidak pernah dilahirkan, yang kedua dilahirkan tapi mati muda dan yang tersial adalah berumur tua. Berbahagialah mereka yang mati muda." Itulah salah satu catatan Soe Hok Gie dan dia berhasil mencapai nasib terbaik kedua menurut versinya. Ya, mati muda.
16 Desember 1969, sehari sebelum Gie merayakan ulang tahunnya yang ke 27 tahun, dalam pelukan Gunung Semeru ia meninggal dunia. Â Aktivis yang memiliki kebiasaan menulis dalam buku harian itu diduga menghirup asap beracun dari kawah gunung . Gie meninggal bersama Idhan Dhanvantari Lubis, teman mendakinya.Â
Keberanian dan ketajaman Gie dalam mengkritisi kekuasaan nampaknya belum kita temukan lagi di masa sekarang. Apalagi, mental kesatria seorang Gie yang tidak runtuh, sekalipun ia ditawari kursi jabatan di parlemen. Ia tetap memilih menjadi orang yang terus melawan kesewenang-wenangan.Â