Mohon tunggu...
Ibrohim El Hasbi
Ibrohim El Hasbi Mohon Tunggu... Dosen - Pakar Pendidikan Islam

Kandidat Doktor Pendidikan Islam dan ketua yayasan Mutiara Embun Pagi

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Bersekolah Pasca Asap Karhutla

25 Oktober 2019   20:19 Diperbarui: 20 Mei 2020   11:32 40
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Bagi sekolah-sekolah yang berada di tanah jawa, dimana terkumpul para pendidik, fasilitas dan lulusan yang hebat-hebat, tiga bulan pertama Kegiatan Belajar Mengajar (KBM) dimanfaatkan untuk simulasi mengejar target ideal.  

Tak jarang sekolah melakukan berbagai evaluasi untuk mengukur kesuksesan pembelajaran. Salahsatu alat ukur yang biasa dilakukan ialah dengan menyelenggarakan Penilaian Tengah Semester (PTS), dahulu UTS. 

Target ketercapaian dapat dilihat secepat kilat, terutama bagi sekolah yang sudah memberlakukan UBEK (Ujian Berbasis Komputer). Dengan demikian, hasil pembelajaran dapat terus dilakukan perbaikan.

Sangat berbeda dengan sekolah-sekolah yang terkena dampak Karhutla (Kebakaran hutan dan lahan). Bagi mereka, jangankan berpikir untuk melihat hasil pembelajaran. Yang lebih penting saat ini ialah, bagaimana membangun kembali semangat tiap unsur pendidikan untuk kembali bersekolah.

Bukan tanpa alasan Dinas Pendidikan setempat sempat mengeluarkan kebijakan untuk meliburkan sementara pembelajaran. Andai dipaksakan, bukanlah ilmu yang didapatkan, melainkan penebaran trauma bersekolah. 

Terlepas faktor terjadinya Karhutla sebagai sebuah kejahatan atau bencana alam semata, namun yang terpenting ialah bagaimana masyarakat pendidikan yang terkena dampak, harus segera bangkit dan berusaha untuk kembali bersekolah.

Apabila melihat sejarah, pasca meledaknya kota Hirosima dan Nagasaki, yang pertama kali dicari oleh Kekaisaran Jepang ialah para pendidik. Mereka tidak larut dengan kesedihan, namun menjadikan semua itu sebagai motivasi untuk segera bangkit. 

Terbukti, kini Jepang menjadi salah satu negara maju bahkan memimpin dunia pada bidang tertentu.

Contoh lain ialah kebangkitan negara Korea Selatan. Pasca kemerdekaan, pemerintah Korea Selatan mendoktrin masyarakatnya untuk bekerja melebihi negara Jepang yang pernah menyengsarakannya, walaupun per 1 Juli 2018 demi alasan kesuburan kaum wanita, mereka mengurangi jam kerja yang semula 68 jam dalam satu minggu menjadi 52 jam, (lihat berita CNN 03/07/2018). 

Intinya mereka harus bekerja keras dan lebih lama dari negara yang sudah menjajahnya. 

Pun sekarang terbukti, Korea Selatan menjadi salah satu negara maju di dunia, bahkan bersaing dengan negara Jepang itu sendiri. Pola tersebut, tidak salah-salah amat kalau diadopsi oleh Dinas Pendidikan wilayah-wilayah yang terkena dampak karhutla sehingga dapat bangkit menuju ketertinggalan.

Kita sepakat, pendidikan merupakan salah satu pintu utama menuju peradaban. Bobroknya sebagian mental anak bangsa dan semangat untuk perubahan dapat dirubah melalui pendidikan. 

Dengan musibah yang menimpa masyarakat sumatera dan sekitarnya, Kementrian dan Dinas pendidikan setempat harus berjuang mengejar ketertinggalan. 

Mereka dituntut kerja keras melipatgandakan berbagai macam upaya untuk memulihkan keadaan. Sepertinya tak salah juga, kalau secara formal Kementrian mengirim utusan atau relawan pendidikan guna hadir disana hingga ketercapaian program pendidikan mulai terlihat.

Keterlibatan berbagai unsur guna membangkitkan semangat bersekolah memang dibutuhkan. Pemerintah, aparatur masyarat, pemuka agama, tim medis, psikolog, sosiolog, keamanan, penegak hukum dan unsur-unsur lainnya harus terus diupayakan. 

Namun demikian yang terpenting dari semua itu justru motivasi bangkit dari masyarakatnya itu sendiri. 

Ketika seorang dokter memeriksa dan memberikan resep pada seorang pasien, upaya itu baru tahap awal penyembuhan. Akselerasi kesembuhan yang sesungguhnya ialah semangat untuk sehat dan ingin segera beraktivitas kembali dari pasiennya itu sendiri.  

Allah SWT memesankan kepada ummat manusia yang terkena musibah untuk segera bangkit. "Tidak ada sesuatu musibah pun yang menimpa seseorang kecuali dengan izin Allah; Dan barang siapa yang beriman kepada Allah, niscaya Dia akan memberi petunjuk kepada hatinya. Dan Allah Maha Mengetahui segala sesuatu" (Q.S At Taghabun ayat 11). 

Ayat itu menjelaskan, jika kita benar-benar beriman, niscaya Allah akan memberikan petunjuk untuk segera bangkit atas keterpurukan yang selama ini menimpanya.

Pemerintah dan para relawan tidak mungkin akan selamanya hadir untuk membantu. Kemandirian dari masyarakat harus segera terbangun. Meraka harus sadar bahwa saat ini, ia dalam keadaan tertinggal. 

Dengan merapatkan barisan dan melipatkan bentuk usaha, serta keyakinan akan diberikan jalan oleh Yang Maha Kuasa, itu ialah kunci utama dari sebuah kebangkitan. Allah tidak akan merubah suatu keadaan apabila ia tidak berusaha bangkit untuk merubahnya.

Jika pendekatan yang hendak diterapkan oleh Dinas dan para penyelenggara pendidikan bersifat pragmatis, maka dari ke-delapan standar pendidikan (Isi, Proses, Kompetensi lulusan, Tenaga Pendidik dan Kependidikan, Sarana dan prasarana, Pengelolaan, Pembiayaan, Penilaian), maka yang harus menjadi fokus utama terletak pada empat aspek. 

Keempat aspek tersebut, pertama aspek tenaga pendidik dan kependidikan, kedua proses, ketiga pengelolaan dan keempat sarana dan prasarana. 

Empat kompetensi sebagai Tenaga pendidik yaitu professional, pedagogik, sosial dan kepribadian, pada kondisi seperti sekarang ini benar-benar diuji untuk buktikan. 

Di samping harus mampu mengajar pada kondisi trauma, gurupun dituntut mampu pula memberikan semangat kepada orangtua dan peserta didik untuk tetap bersekolah.

Aspek kedua berupa standar proses sudah dipastikan tidak akan normal layaknya di sekolah-sekolah yang aman. Pada kondisi seperti itu, lagi-lagi tenaga pendidik dituntut kreatif untuk menyelenggarakan pendidikan. 

Hal ini memang tidak mudah karena boleh jadi fasilitas kurang mendukung. Namun demikian, andai semua unsur proses pendidikan memiliki semangat dan kesadaran yang sama, tidak menutup kemungkinan akan menghasilkan pencapaian yang maksimal.

Pengelolaan pendidikan sebaiknya tetap diarahkan pada pencapaian visi dan misi pendidikan tiap sekolah itu sendiri. Walaupun secara sistem belumlah utuh, tetapi titik pencapaian harus tetap sama. Pada saat musibah berlalu, maka sistem akan kembali berjalan normal, dan semua akan kembali pada jalurnya.

Khusus sarana dan prasarana pendidikan sudah dipastikan butuh perhatian khusus. Asap yang menempel pada semua benda akan meninggalkan aroma tak sedap. 

Tim medis dapat menerangkan jenis bahaya apa saja dan bagaimana sebaiknya unsur pendidikan menyikapi kondisi seperti itu. Buku-buku dan alat peraga pembelajaran yang masih dapat dipergunakan, mungkin dapat dipergunakan sebaik-baiknya, sambil menunggu proses sterilisasi dan pengadaan yang baru. 

Dengan demikian, mudah-mudahan masyarakat yang terkena dampak karhutla dapat segera bangkit dan bisa melakukan percepatan peningkatan mutu pendidikan layaknya negara Jepang dan Korea Selatan seperti contoh di atas.

Penulis ialah
Kandidat Dokdor Pendidikan Islam UIN Sunan Gunung Djati Bandung, Ketua Yayasan Pendidikan Mutiara Embun Pagi, dan Guru pada Sekolah Muhammadiyah Kota Bandung.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun