Mohon tunggu...
Ibrahim A. Putra
Ibrahim A. Putra Mohon Tunggu... -

pengen belajar nulis

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Pengadilan-pengadilan(an)

12 November 2015   10:18 Diperbarui: 12 November 2015   14:25 161
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

[/caption]Sumber gambar: Kompas

Pengadilan-pengadilanan

Kata kata ini saya dengar sewaktu menonton sebuah acara talk show di salah satu tv swasta nasional tadi malam. Dan sayapun penasaran membuka google untuk mencari apa sih yang dibahas itu. Ternyata yang dibahas adalah pengadilan rakyat internasional.

Pengadilan rakyat internasional (IPT) yang digelar di Den Haag belanda 10-13 November mengenai peristiwa tahun 1965 membuat banyak orang bingung dan termasuk saya. Pengadilan ini dilakukan dan diprakarsai oleh sejumlah warga Negara Indonesia yang menetap di Belanda.

Berikut hasil penelusuran saya di mbah google :

International People's Tribunal (IPT) itu digelar untuk membuktikan terjadinya 'genosida selama periode 1965 hingga 1966' yang selama ini tidak pernah diakui negara. Terdapat sembilan dakwaan yang akan diuji panel hakim dalam sidang tersebut. Beberapa di antaranya terkait pembunuhan massal, penghilangan paksa, penyiksaan, dan kekerasan seksual pasca meletusnya peristiwa 30 September 1965.

IPT 1965 ini dikoordinasikan oleh aktivis dan juga praktisi hukum Nursyahbani Katjasungkana. Sementara Todung Mulya Lubis, pengacara yang dikenal sebagai pejuang hak asasi manusia (HAM), menjadi jaksa ketua. Nantinya, ada tujuh hakim yang akan memutuskan perkara, antara lain Sir Geoffrey Nice, Helen Jarvis, Mireille Fanon Mendes France, John Gittings, Shadi Sadr, Cees Flinterman, dan Zak Yacoob. Kesemua hakim ini berlatar akademisi, aktivis hak asasi manusia, dan praktisi hukum.

Meski kegiatan ini berupa pengadilan, tapi tidak ada upaya menyeret orang-orang ke pengadilan kriminal. Sebab, pengadilan ini tidak bersifat mengikat secara hukum, tapi sebuah ‘putusan moral’ agar pemerintah Indonesia dapat membuat kebijakan terhadap peristiwa 1965. Den Haag dipilih sebagai tempat penyelenggaraan IPT 1965 karena kota ini merupakan simbol penegakan HAM.

Tapi yang menarik, menteri Luar Negeri Retno LP Marsudi mengatakan bahwa Pemerintah Belanda tidak terlibat dalam Pengadilan Rakyat Internasional terkait kasus pelanggaran berat HAM tahun 1965 di Indonesia, walau pun ini dilaksanakan di Den hag, Belanda. Retno menegaskan, pengadilan rakyat di Den Haag hanya digagas sekelompok warga negara Indonesia. Ia pun menilai pengadilan itu hanya sebuah wujud kebebasan berekspresi.

Sementara itu, Pemerintah Indonesia sendiri menyatakan tidak tertarik menanggapi IPT yang digelar di Den Haag ini. Istana Negara menyatakan, Indonesia memiliki sistem hukum dan peradilan sendiri. Menurut Menteri Sekretaris Negara Pratikno, upaya penyelesaian kasus pelanggaran berat HAM terus dilakukan oleh Pemerintah Indonesia.

Sebelumnya, JK menegaskan, pemerintah tak perlu meminta maaf atas peristiwa 1965. "Tentu silakan saja, tetapi jangan lupa bahwa (peristiwa) itu dimulai dengan tewasnya jenderal-jenderal kita. Ya masa pemerintah minta maaf, padahal yang dibunuh para jenderal kita, gimana sih?" kata JK.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun