Mohon tunggu...
Ibnu Zakaria
Ibnu Zakaria Mohon Tunggu... -

Pemberdayaan Komunitas

Selanjutnya

Tutup

Politik

Nafsu Ingin Berkuasa, Sungguh Mahal Ongkosnya!

8 Juni 2013   19:30 Diperbarui: 24 Juni 2015   12:20 300
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Teringat bait lagu bang iwan fals dalam judul “negeri yang hilang” merinding, membakar kejiwaan bagi yang mendengarnya. Begitulah demokrasi di negeri ini sudah terlanjur menjadi peradaban yang dipersepsikan sebagai harapan dan masa depan yang cerah. Maka wajar saja dalam demokrasi ungkapan denitif penganutnya menggambarkan kaca mata. Kaca mata yang selalu dipakai dalam berdemokrasi, ironisnya tergantung dari pemakai kaca mata tersebut, kadang terang, rabun, bahkan gelap.

Kita selalu membaca mendengar dan meyaksikan tayangan demokrasi dan ironinya, seperti tayangan Mata Najwa yang mengupas tentang “membeli demokrasi” wah.. betapa besar biaya untuk menjadi kepala daerah mulai dari puluhan hingga ratusan milyar. Begitu mahal ongkos demokrasi, sungguh sangat luar biasa pelaku politik di negeri ini, untuk merubah peradaban demokrasi. Akan tetapi pertanyaanya, jika mereka yang sangat bernafsu berkuasa tersebut mampukah nanti memimpin dengan bijaksana?

Jika melihat kondisi saat ini menjelang pesta demokrasi, negeri ini tengah berambisi dalam pasang surutmembangun pencitraan. Dengan kondisi mahalnya demokrasi, tentunya berapa anggaran yang harus dikeluarkan oleh seorang calon yang mencalonkan diri sebagai “dewan rakyat”.Dewan Rakyat! Mereka yang mewakili rakyat di Kota, Kabupaten, di Republik ini, melakukan sosialisasi diri di tengah masyarakat melalui tanda pengenal dan alat peraga secara terus-menerus.

Pencitraan politik melalui stiker, spanduk, baliqo, umbul-umbul, dan lain yang kesemuanya akan dipasang di tempat keramaian, bahkan melalui media cetak dan media elektronik seperti tv, radio, koran, majalah, tabloit, buku,dan lainya secara masif.

Begitulah pentas demokrasi, jangan tercengang jika mahalnya biaya demokrasi di Indonesia. Sebenarnya sudah tidak menjadi rahasia umum lagi, bahwa biaya untuk menjadi pemimpin butuh cost anggaran yang melambung tinggi.

Semangat Mengadu Nasib, Semangat Nyaleg dan Ironi Ongkos Demokrasi

Besarnya biaya kampanye yang dihabiskan oleh seorang caleg menyebabkan pada akhir kampanye tahun 2009 didapatkan ada calon anggota DPRD yang gagal, tidak mendapatkan kursi diparlemen. Akhirnya mereka punya banyak hutang, ada caleg yang stress (sakit jiwa), lalu menganbil jalan pintas dengan cara gantung diri untuk menyelesaikan permasalahan paska kampanyenya. ada juga suami istri bercerai, dan banyak kasus lain yang ditemukan.

Semangat nyaleg, ternyata jangan dilihat dari resiko ironinya buktinya masih saja banyak yang nafsu berburu kekuasaan. Dengan besarnya biaya nyaleg dan kampanye tersebut, lantas ada yang mempertanyakan apakah bisa dikembalikan dananya secara utuh ketika seorang caleg itu duduk menjadi anggota legislatif (DPRD/Propinsi/Kab/Kota, DPR RI/ DPD) atau kepala daerah?. Indonesia untuk Transparansi Anggaran (Fitra) menjawab pertanyaan tersebut dengan melayangkan perbandingan rasional. “Ambil contoh gaji kepala daerah, yang rata-rata semisalnya 3 juta ditambah dengan tunjangan jabatan, belum lagi upah pungut lainya, jika dibandingkan dengan kampanye Jokowi calon Gubernur DKI yang puluhan miliar, dipastikan tidak akan sebanding. Jadi jawabanya tidak masalah.

Mari kita bandingkan PP 109 tahun 2009 yng telah ditetapkan, dijelaskan bahwa gaji anggota Dewan mengikuti siklus gaji Kepala Daerah dengan besaran tergantung dengan kemampuan Anggaran Pendapatan Belanja Daerah (APBD). contoh gaji anggota DPRD Propinsi Banten saat ini diperkirakan mendapat penghasilan lebih kurang Rp 15 juta/bulan. Dana yang didapat sebesar Rp. 15 juta akan dikurangi dengan sumbangan kepartai politik dan sumbangan kefraksi. Bisa dipastikan dana yang akan dibawa anggota DPRD provinsi secara pribadi sebesar lebih kurang Rp 12,5 juta/bulan. Apabila kita hitung satu tahun pendapatan anggota DPRD tersebut, maka penghasilan resmi sesuai peraturan pemeritah dan dipotong partai/fraksi adalah Rp 150 juta/tahun.

Demokrasi Jadi Industri Politik

Perkembangan bangsa yang sudah salah kaprah akibat peradabaan demokrasi yang tengah dalam proses belajar ini menurut Yusril Ihza Mahendra menjadi sulit untuk membangun demokrasi yang berkualitas. Biaya politik yang mahal tersebut berakibat mendorong pelaku politisi yang berburu kekuasaan hingga akhirnya “korupsi”. Penilaian Yusri seperti tertulis melalui twiternya, mereka yang idealis biasanya tidak punya uang banyak, tapi mereka hanya memberikan harapan akan perubahan untuk menciptakan pemerintahan yang bersih dan bebas korupsi.

Pemilu di negeri ini merupakan sarana untuk merubah pemerintahan, jika demokrasi dijadikan industri politik, kondisi peradaban demokrasi saat ini, semangkin lama semangkin mahal saja. Mungkin saja demokrasi dinegeri ini terkotori oleh partai politik, seperti yang diungkapkan Hanta Yudha, “Semua proses politik saat ini telah menjadi monopoli parpol. Kalau demokrasinya kacau, maka penyebabnya adalah partai-partai politik. Partai-partai itu yang harus dibereskan dulu.Menurutnya juga, rakyat  sudah sangat antusias dengan demokrasi. Tapi, parpol sebagai pemegang monopoli kader menyelewengkannya menjadi dinasti politik. "Sebagai contoh, rapat seorang bapak dengan anaknya di meja makan bisa menjadi keputusan partai politik.

Entalah, mengapa negeri ini suram dalam berdemokrasi, apapun motifnya jika seseorang ingin mencalonkan diri bukan berarti untuk merubah nasib. Mungkin melalui tulisan ini kita dapat mencari jawaban demokrasi dinegeri ini yangmemberikan penjelasan bahwa ikut pemilu memerlukan biaya mahal dana yang banyak serta identik dengan uang, masikah bernafsu ingin berkuasa?.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun