Mohon tunggu...
Ibnu Sina
Ibnu Sina Mohon Tunggu... Mahasiswa, Penulis

Bertamasya dalam Keindahan Palung Social-Science

Selanjutnya

Tutup

Hukum

Trilogy: Hakim, Hukum, Hikam

29 April 2020   19:57 Diperbarui: 16 Mei 2020   14:06 490
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Dalam kesempatan kali ini, penulis akan mencoba untuk memberikan sebuah pengantar pemahaman kepada penikmat literasi mengenai Trilogy Hakim, Hukum dan Hikam. Penulis akan mencoba menjelaskan mengenai beberapa definisi dari judul tulisan ini, lalu kemudian mensintesiskan dalam sebuah analisis guna mendapakan manfaat dari penulisan ini.

Pertama-tama, penulis akan mencoba menjelaskan mengenai Trilogy (dalam bahasa Indonesia disebut Trilogi), merupakan suatu pokok pikiran yang dituangkan dalam tiga bagian sub-elemen yang saling terhubung dan mengikat antara satu dengan yang lainnya dalam satu tema pembahasan.

Trilogy dalam pembahasan kali ini terdiri dari 3 (tiga) elemen yang dimulai dari Hakim, Hukum, dan Hikam. Trilogy tersebut mungkin sedikit familiar di kalangan Mahasiswa Hukum. Namun, Masyarakat umum yang tidak berkecimpung dalam dunia akademis hukum masih banyak belum memahami mengenai ketiga konsep tersebut. Oleh karenanya, penulis akan sedikit berbagi pengalaman dan pemahaman mengenai Trilogy tersebut.

Apa itu Hakim?

Trilogy dimulai dari Hakim, dalam menuntaskan sebuah kasus, tentunya tak lepas dari sang Hakim. Peran Hakim amatlah penting untuk dapat menuntaskan penegakan Hukum. Nasib seseorang dipertaruhkan oleh ketukan palu sang Hakim.

Menurut Undang-undang Nomor 48 Tahun 2009 Tentang Kekuasaan Kehakiman, Hakim adalah hakim pada Mahkamah Agung dan Hakim pada badan peradilan yang berada dibawahnya dalam lingkungan peradilan umum, ligkungan peradilan agama, lingkungan peradilan militer, lingkungan peradilan tata usaha Negara, dan hakim pada pengadilan khusus yang berada dalam lingkungan peradilan tersebut.

Dalam menjalankan tugasnya, Hakim bukan hanya berpegangan pada selembar kertas undang-undang, melainkan juga pada logika, intuisi dan keyakinannya. Karena, dalam mengemban tugasnya, ia berbaiat kepada Allah SWT, Tuhan Yang Maha Esa. Tak dapat dipungkiri juga, Hakim merupakan seseorang yang superpower di dunia ini, ia memiliki kewenangan yang setara dengan Tuhan untuk dapat mengadili manusia.

Apa itu Hukum?

Elemen Trilogy yang kedua adalah Hukum, sampai dengan tulisan ini dibuat, masih belum ada kesepamahaman para pakar/ahli hukum untuk mendefinisikan dari kata ‘Hukum’ tersebut. Setiap pakar/ahli hokum memiliki definisi tentang Hukumnya secara mandiri. Bahkan, ada yang menyebut bahwa “ketika 10 (sepuluh) pakar/ahli hokum dihadapkan dalam 1 (satu) ruangan untuk mendefinisikan hukum, maka akan tercipta 11 (sebelas) definisi hukum”.

Oleh karenanya, penulis akan mendefinisikan hukum sesuai dengan apa yang telah penulis rasakan di bangku perkuliahan dan dalam praktiknya. Hukum merupakan suatu susunan abjad yang amat sakti untuk bisa membatasi kebathilan dalam gerak dan tingkah laku dari masyarakat untuk bisa tertib agar terciptanya kesejahteraan dan kebahagiaan dalam bermasyarakat.

Dalam menuntaskan tugas Hakim, Hukum merupakan pedoman pertama untuk menciptakan sebuah keadilan. Baik Hukum yang tertulis hingga Hukum yang hidup dalam masyarakat/adat (the living law).

Hakim bukan hanya sebagai corong undang-undang. Namun, ia juga adalah selaku pembuat hukum. Manakala Hukum saat ini tidak memenuhi rasa keadilan. Inilah yang disebut dengan tindakan progresifisme dalam berhukum. Sudah menjadi rahasia umum jika Hukum di Indonesia tumpul ke atas, tajam ke bawah. 

Seperti halnya yang terjadi pada kasus Nenek Minah yang mencuri 3 (tiga) buah kakao pada Tahun 2009 yang megharuskannya untuk menerima hukuman 1 Bulan 15 Hari, dengan masa percobaan 3 bulan. Kasus ini memang kecil, namun sudah melukai banyak orang dan memperlihatkan bagaimana kejamnya penegakan hukum di Indonesia.

Apa itu Hikam?

Elemen ketiga dari Trilogy ini adalah Hikam, yang merupakan elemen terakhir yang dapat mencerminkan nilai-nilai yang dipangku oleh Hakim. Hikam merupakan bentuk jamak dari hikmah (dalam bahasa arab) yang artinya kebijaksanaan. 

Hikam juga terkenal dalam sebuah tulisan seorang sufi, yakni Ibnu Atha’illah dalam bukunya yang berjudul Al-Hikam, yang merupakan potret perjalanan spiritual para sufi ketika menempuh (suluk) menuju Allah.

Elemen ini sangat penting bagi Hakim dalam berhukum baik di dalam ruang persidangan hingga sampai setelah berada di luar persidangan. Maksud dari di luar persidangan ialah Hakim harus mampu membuat sebuah putusan yang bijaksana. 

Jadi, bijaksana disini bukan hanya pada saat berpraktik di acara persidangan, namun harus mampu melewati dimensi luar persidangan berupa sebuah putusan, karena Hakim merupakan pemimpin dalam dunia peradilan.

Menurut Feby Toriqirrama, Alumni Fakultas Syariah dan Hukum, UIN Sunan Ampel Surabaya, sebagaimana dikutip dalam laman www.harianbhirawa.co.id., konsep Trilogy tersebut dapat dipadankan degan adigium yang lazim dalam duni ilmu Mantiq, yakni al-insanuhayawannatiq yang artinya “manusia adalah komposisi hewani yang memiliki daya berpikir”. Sebuah adigium yang terkenal di kalang filsuf islam. Hakim adalah al-insan-nya, hayawan adalah hukumnya, dan natiq adalah hikamnya.

Artinya disini al-insan harus sadar dalam dirinya ada unsur hayawan-nya. Tetapi ia tidak boleh berhenti pada unsur hayawan tersebut, karena Hakim adalah pegemban daripada Hukum. Meskipun Hakim harus menaati Hukum, tetapi Hakim tidak boleh berhenti pada Hukum yang telah dituliskan oleh manusia tersebut. Hakim harus terus mencari keadilan substantif sesuai dengan hati nuraninya. 

Oleh karenanya, Hakim tidak boleh berhenti pada Hukumnya, tapi juga harus bisa menembus ruang natiq-nya. Hakim harus memiliki kebijaksanaan secara penuh, dan keyakinan yang mendalam, serta memendam nafsu dari perbuatan-perbuatan yang dapat merugikan masyarakat.

Tak dipungkiri, kita melihat di beberapa media terdapat oknum Hakim Indonesia yang telah merasakan dinginnya jeruji penjara yang diakibatkan oleh ketidakmpuannya untuk melawan nafsu yang bergejolak di dalam dirinya.

Kita telah tertipu oleh ketegasan, kebijaksanaan dari oknum Hakim tersebut di dalam persidangan. Namun nyatanya selepas keluar dari ruang persidangan ketegasan dan kebijaksanaan tersebut hanyalah sebuah topeng yang tak dapat menembus dimensi output dari proses peradilan.

Penulis : Mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Sultan Ageng Tirtayasa

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Hukum Selengkapnya
Lihat Hukum Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun