Mohon tunggu...
ibs
ibs Mohon Tunggu... Editor - ibs

Jika non-A maka A, maka A

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Artikel Utama

Berbohonglah hingga Berbusa, Bahasa Tubuh Tak Akan Bisa Menutupinya

21 Oktober 2019   20:38 Diperbarui: 29 Juli 2022   10:17 2308
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Lanang (bukan nama sebenarnya) melipat kedua tangannya di depan dada. Kepalanya tertunduk. Di sebelahnya, Wadon (juga bukan nama sebenarnya) memberondong pertanyaan kepada Lanang. Telunjuk jari kanannya tegas mengarah ke arah wajah Lanang. Malam itu, Lanang diduga 'main serong' dengan perempuan lain.

Lanang jelas membantah. Ia sudah tak bisa berkata-kata. Sekalipun menjawab iya hanya bisa menyebut "enggak". Segala argumen bantahannya sudah ia keluarkan.

Dan Wadon jelas tak percaya. Ia merasa masih ada yang disembunyikan dari laki-laki yang sudah menemaninya selama delapan tahun itu.

Malam itu saya berada di antara keduanya. 'Status' saya sebagai saksi. Jelas tak itu bukan kondisi menyenangkan. Keduanya adalah teman saya. Sedari mahasiswa ingusan di bangku kuliah.

Menjadi saksi bak buah simalakama. Andai saya menceritakan semuanya, saya akan dituduh menjadi pembela Lanang. Bila itu terjadi, jelas posisi Wadon tertekan dan merasa kalah. Pada ujungnya, saya takut, Wadon meminta cerai.

Sebab, Lanang memang tidak melakukan perselingkuhan. Tapi, ia tak berbohong kalau ada niatan. Merasa tak dihargai, begitu dalih Lanang kepada saya dua minggu sebelum malam itu.

Bila saya menitikberatkan pembelaan untuk Wadon, maka Lanang tak akan segan-segan 'menendang' saya jauh-jauh. Dan mungkin tak ada lagi pertemenan.

Kalau saya bela keduanya, sudah pasti disebut tak punya pendirian dan tak akan menyelesaikan permasalahan. Ah, sial sekali saya ini.

Padahal, persoalannya memang ada di kedua manusia ini.

Sejak dulu, hubungan keduanya jarang berjalan baik-baik saja. Penilaian saya tak lebih karena persoalan komunikasi. Lanang lebih suka menyembunyikan perasaan, permasalahan, atau keadaannya.

Lanang merasa tak perlu menceritakan semuanya kepada Wadon. Karena memang Lanang merasa bisa menyelesaikannya sendiri.

"Kan, gak harus semua gua ceritain. Kalau memang ada yang peting atau urgent, pasti gua juga cerita ke dia," katanya.

Sementara Wadon, ia lebih terbuka. Bahkan terlalu terbuka. Ia menceritakan semuanya --termasuk yang saya nilai sebagai aib hubungan keduanya-- melalui unggahan media sosial. Semua media sosial yang ia punya.

Tapi itu juga tak sepenuhnya salah Wadon. Ia butuh orang yang bisa mengerti kemauan dan permasalahan si Wadon.

"Gua sering gak nyaman cerita sama Lanang. Dia kurang pengertian orangnya. Malah, belakangan gua juga sudah jarang cerita apa-apa ke dia. Tapi tetep aja, tuh, dia enggak ngeh," ungkapnya. "Siapa yang gak kesel, coba. Tapi mau gimana, gua udah terlanjur cinta, sih," imbuhnya.

***

Dari keadaan seperti itu saya menarik kesimpulan, bahwa keduanya kurang menyadari ada komunikasi yang kurang baik dan pentingnya komunikasi dalam menjalin hubungan. Namun itu juga bukan salah keduanya. Persoalan mereka--dan juga kita--sudah hadir sejak lama.

Komunikasi dalam sebuah hubungan, perlu kita sadari, tidak hanya lisan. Tapi juga nonlisan. Sebab, komunikasi nonlisan lebih punya peran penting bahkan lebih penting dari sekadar lisan.

Tetapi, sebelum sampai ke situ, ada beberapa hal yang perlu kita pahami agar komunikasi dengan pasangan berjalan dengan baik.

Pertama, sedari zaman nenek moyang, laki-laki memang selalu merasa termotivasi saat merasa dibutuhkan. Sementara perempuan termotivasi bila mereka merasa dihargai.

Kemudian laki-laki terus menerus-menerus mengharapkan agar perempuan berpikir dan bertindak seperti dirinya.

Sebaliknya, perempuan berharap supaya laki-laki berperilaku sebagaimana perempuan memperlakukan pasangannya.

Lalu jamak kita dengar--atau justru mengalami sendiri-- bahwa keluhan laki-laki yang paling sering terucap adalah mengenai perempuan yang kerap kali mencoba mengatur dan mengubahnya.

Sedangkan keluhan paling sering diungkapkan seorang perempuan adalah bahwa laki-laki tidak pernah mendengarkannya, baik perintah maupun sarannya, dan baik secara secara eksplisit maupun implisit.

Ada sebuah anekdot berbunyi: seorang laki-laki memiliki harkat dan martabat yang begitu tinggi. Seorang laki-laki pantang dinilai tak mampu.

Sebab, secara naluriah dalam darah seorang laki-laki mengalir sebuah kehormatan. Karenanya ia bertaruh dengan dirinya sendiri.

Maka, ia akan merasa tak berharga bila tak mampu. Dan ia tak akan pernah suka dibilang begitu.

Mengutip John Gray dalam bukunya berjudul Men Are From Mars and Women are Form Venus, ia menuliskan apabila memberikan nasihat yang tidak diminta kepada laki-laki berarti sama saja menganggap si laki-laki itu tidak mengetahui apa yang harus dilakukan, atau tidak mampu melakukannya sendiri, atau bahkan tak berguna.

Janganlah kita heran ketika laki-laki tengah mengalami hal-hal sulit dalam kesehariannya lebih suka memendamnya dan menyelesaikannya sendiri. Sekali lagi, kehormatan mengalir dalam darah seorang laki-laki.

Kendati begitu, ketika seorang laki-laki betul-betul membutuhkan bantuan, berarti ia cukup bijaksana untuk mendapatkannya; ia akan mencari orang yang benar-benar dipercayai, dihormati, dan diyakini bisa menyelesaikan persoalannya, tulis John Gray.

Akan tetapi, praktiknya dalam keseharian, perempuan kerap melakukan hal tersebut (memberi nasihat tanpa diminta, dan di beberapa kasus nasihatnya bernada menggurui). Karenanya ada baiknya itu tidak dilakukan oleh perempuan. Atau sekurang-kurangnya tidak sering dilakukan.

Menjadi perempuan yang dipercaya, dihormati, dan diyakini dari seorang laki-laki lebih dibutuhkan ketimbang memberikan nasihat. Apalagi menggurui.

Di sisi lain, laki-laki selalu beranggapan apabila perempuan menceritakan masalahnya maka ia sedang ingin mencari jalan keluar penyelesaian.

Tak sampai di situ, selalu menganggap dengan menemukan jalan keluar masalah dari pasangannya, laki-laki akan menjadi merasa berguna, bermanfaat, dapat diandalkan, hingga dipercaya.

Padahal tidak begitu. Tidak selalu. Justru semakin ingin menyelesaikan masalahnya, perempuan justru semakin kecewa. Merasa tak dihargai

Yang tidak disadari oleh laki-laki adalah perempuan tidak melulu membutuhkan penyelesaian.

Bagi perempuan, penyelesaian paling mujarap adalah cukup didengar. Didengar dengan penuh perhatian dan kasih sayang. Ajaib, kan?

***

Merujuk pada yang dikatakan Lanang mengapa dirinya hampir jarang bercerita permasalahannya sendiri kepada Wadon, cukup terjawab: Lanang akan menceritakan masalahnya apabila memang benar-benar ingin diceritakan sekaligus menemukan jalan keluar. Lanang kemungkinan tidak akan menceritakan permasalahannya selama masih bisa menyelesaikannya sendiri.

Sedangkan dari apa yang dikeluhkan Wadon, besar kemungkinan Lanang kurang peka bahwa kekasihnya hanya butuh didengar, bukan jalan keluar.

Artinya, besar kemungkinan Lanang selalu memberikan solusi ketimbang mendengarkan keluh kesah Wadon dengan khidmat (baca: perhatian serta kasih sayang).

Terbayangkan bagaimana nonlisan memiliki peran penting, bahkan lebih penting ketimbang lisan?

Pertanyaan selanjutnya, mengapa Wadon tetap tak mempercayai Lanang meski sudah mengatakan semuanya. Atau mungkin hampir semuanya.

Ini juga perlu kita ketahui kalau perempuan secara naluriah, sadar tidak sadar, pandai membaca bahasa tubuh. Perempuan begitu jeli melihat kontradiksi antara kata dan bahasa tubuh.

Ini juga yang pernah ditemukan dari riset para psikolog Harvard University: Perempuan jauh lebih awas terhadap bahasa tubuh ketimbang laki-laki.

Para psikolog Harvard University meriset para laki-laki dan perempuan dengan metode sederhana.

Para laki-laki dan perempuan ini diminta untuk menonton sebuah film berdurasi pendek tanpa suara. Hanya menilai dari bahasa tubuh dalam adegan film tersebut sebelum kemudian diminta untuk menggambarkan jalannya cerita.

Hasilnya, laki-laki hanya mampu menebak dengan benar jalan cerita film dengan keakuratan 42 persen. Sedangkan perempuan, nilai keakuratannya mencapai 87 persen.

Dari riset ini menandakan perempuan memiliki kemampuan bawaan untuk menangkap dan mengartikan sinyal-sinyal nonlisan.

Secara biologis ini juga bisa diterangkan. Mengutip tulisan Allan dan Barbara Pease berjudul The Definitive Book of Body Language, pandainya kebanyakan perempuan dalam membaca bahasa tubuh tak lepas dari susunan otak yang mereka milki.

Perempuan memiliki 14-16 susunan otak yang berfungsi mengevaluasi perilaku orang lain. Sedangkan laki-laki hanya memiliki 4-6 susunan otak yang fungsi yang sama. Gimana, masih mau berbohong kepada perempuan?

Susunan otak ini jugalah yang membuat perempuan begitu mengerti apa yang disampaikan oleh bayi. Karenanya, sang ibu akan lebih paham akan rengekan anaknya ketimbang sang ayah.

Mungkin ini bisa menjawab mengapa teman saya itu, Wadon, masih tetap percaya terhadap Lanang meski dikatakan sudah menceritakan semuanya. Mungkin Wadon bisa membaca gelagat ada niatan selingkuh dari Lanang.

Dan, seperti saya katakan tadi, Lanang tak melakukan perselingkuhan, tapi ia memang ada niatan melakukan itu.

Saya menebak, ketidakpercayaan Wadon, tak lepas dari bahasa tubuh Lanang, yang selama interogasi itu menyilangkan tangannya di depan dada.

Arti dari sikap itu, menurut buku yang saya pernah baca adalah sikap bertahan. Dalam konteks ini, secara tidak sadar Lanang sedang bertahan, atau melakukan pertahanan untuk tidak mengatakan niatan tak baiknya itu.

Berbeda ketika kalau memang kita benar-benar jujur dan tak ada satupun yang disembunyikan. Secara tak sadar, dalam bahasa tubuh, kita akan melebarkan tangan kita selebar-lebarnya. Bersikap terbuka. Sebagai bukti tak ada yang disembunyikan.

Wah, benar-benar akurat, ya, insting perempuan itu.

Sebagai tambahan, dan ini sayangnya menjadi kebiasaan kita adalah, menyelesaikan masalah pelik semacam ini lebih memilih melalui media sosial atau dengan menggunakan aplikasi pesan singkat. Dan saya menyarankan untuk tidak dilakukan.

Mengapa?

Itu sangat sederhana. Media sosial tak bisa memunculkan komunikasi nonlisan.

Media sosial tak mampu menghadirkan peranan penting dalam berkomunikasi, yakni bahasa nonlisan, seperti intonasi, nada, atau penekanan dan semacamnya yang mana justru menjadi bagian vital dalam berkomunikasi. Ujungnya, justru menimbulkan multitafsir dan berakibat miskomunikasi.

Ditambah, kita kerap kali kita jarang menggunakan kaedah-kaedah penulisan yang tepat--terutama penggunaan tanda baca--guna meminimalkan multitafsir itu tadi.

Dari itu, sekali lagi, terutama kamu para remaja, saya menyarankan untuk menyelesaikan masalah secara langsung dan bertatap muka, kalau tidak ingin hubungan kamu menjadi runyam.

Terakhir, teruntuk para lelaki, jangan bingung lagi ya mengapa kecurigaan perempuan itu bisa begitu akurat meski hanya baru niatan :)

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun