"Kan, gak harus semua gua ceritain. Kalau memang ada yang peting atau urgent, pasti gua juga cerita ke dia," katanya.
Sementara Wadon, ia lebih terbuka. Bahkan terlalu terbuka. Ia menceritakan semuanya --termasuk yang saya nilai sebagai aib hubungan keduanya-- melalui unggahan media sosial. Semua media sosial yang ia punya.
Tapi itu juga tak sepenuhnya salah Wadon. Ia butuh orang yang bisa mengerti kemauan dan permasalahan si Wadon.
"Gua sering gak nyaman cerita sama Lanang. Dia kurang pengertian orangnya. Malah, belakangan gua juga sudah jarang cerita apa-apa ke dia. Tapi tetep aja, tuh, dia enggak ngeh," ungkapnya. "Siapa yang gak kesel, coba. Tapi mau gimana, gua udah terlanjur cinta, sih," imbuhnya.
***
Dari keadaan seperti itu saya menarik kesimpulan, bahwa keduanya kurang menyadari ada komunikasi yang kurang baik dan pentingnya komunikasi dalam menjalin hubungan. Namun itu juga bukan salah keduanya. Persoalan mereka--dan juga kita--sudah hadir sejak lama.
Komunikasi dalam sebuah hubungan, perlu kita sadari, tidak hanya lisan. Tapi juga nonlisan. Sebab, komunikasi nonlisan lebih punya peran penting bahkan lebih penting dari sekadar lisan.
Tetapi, sebelum sampai ke situ, ada beberapa hal yang perlu kita pahami agar komunikasi dengan pasangan berjalan dengan baik.
Pertama, sedari zaman nenek moyang, laki-laki memang selalu merasa termotivasi saat merasa dibutuhkan. Sementara perempuan termotivasi bila mereka merasa dihargai.
Kemudian laki-laki terus menerus-menerus mengharapkan agar perempuan berpikir dan bertindak seperti dirinya.
Sebaliknya, perempuan berharap supaya laki-laki berperilaku sebagaimana perempuan memperlakukan pasangannya.