Begini. Pak Kiai punya kebenaran dan keyakinannya sendiri. Ia yakin kalau peci bisa melindungi dirinya dari berbagai macam marabahaya. Karenanya ia mepertahankan keyakinannya itu, yang mungkin berasaskan syariat kepercayannya. Itu sah-sah saja.
Tapi Pak Kiai menjadi salah, karena ia terlalu "menuhankan" pecinya. Sehingga ia mengabaikan aturan-aturan yang ada dan berlaku. Di sini artinya ia menyalahi aturan berkendara. Yang di mana juga menyalahi anjuran Tuhan (red: berbuat baik dan mematuhi aturan).
Contoh lainnya kurang lebih begini. Ketika saya akan melakukan lompatan dari pesawat atau terjun payung, yang saya butuhkan adalah sebuah parasut. Karena saya percaya bahwa parasut akan melindungi saya dari kematian.
Mempercayakan keselamatan terhadap parasut, bukan berarti saya menuhankan parasut. Justru saya percaya hukum Tuhan, bahwa ketika terjun payung parasut dapat menyelamatkan saya.
Di sisi lain kita juga tidak boleh terjebak. Bisa saja Pak Kiai meski hanya menggunakan peci ia justru selalu selamat dan ketika menggunakan helm ia justru celaka. Atau kita yang terjun payung tanpa parasut bisa mendarat dengan selamat.
Ah, sudahlah. Hidup itu memang membingungkan. Lagi pula kita tidak pernah bisa kuasa atas hidup kita.