Mohon tunggu...
ibs
ibs Mohon Tunggu... Editor - ibs

Jika non-A maka A, maka A

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Peci Sakti Pak Kiai dan Kuasa Hidup Kita

30 April 2019   23:28 Diperbarui: 30 April 2019   23:41 236
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi Kiai | Source: Jorg Peter/Pixabay

Alkisah diceritakan...

Selepas zuhur masih dengan baju muslim dan pecinya, Pak Kiai menjemput anaknya yang sekolah di desa seberang dengan motor tuanya. Berjalan di pinggir sawah, menyusuri desa-desa, Pak Kiai menuju kota. Ini menjadi rutinitas lain Pak Kiai selain mengajar ngaji.

Dalam perjalanan pergi menjemput, semua baik-baik saja. Seperti biasanya. Namun di tengah perjalanan pulang, terlihat dari kejauhan segenap aparat polisi melakukan razia kendaraan. Tak satu pun lepas dari razia itu. Termasuk Pak Kiai dengan motor tuanya dan anak gadis satu-satunya yang di belakang.

"Bisa lihat surat-suratnya, pak?" kata Pak Polisi berseragam lengkap.

"Saya tidak bawa dompet," jawab Pak Kiai. "Hanya bawa uang dua puluh ribu," imbuhnya.

"Kalau gitu bapak minggir dulu ke sini," pinta Pak Polisi.

"Apa salah saya?" Protes Pak Kiai.

Pak Polisi tahu Pak Kiai adalah kesohor di Kampung Surga. Namanya beken ke seantero desa.

Karenanya pak polisi menjelaskan semua jenis pelanggaran yang dilakukan Pak Kiai dengan sangat hati-hati dan penuh rasa hormat.

"Kamu tahu," bentak Pak Kiai, "peci ini lebih aman dari helm, hah?!"

Pak Kiai tahu betul apa yang diyakininya. Peci yang selama ini dan selalu dikenakan di kepalanya menurut Pak Kiai, adalah semacam syariat kepercayaannya.

Pak Polisi tertegun. Ia kebingungan menjawab. "Tapi itu beda, pak."

"Apa agama kamu?" Tanya Pak Kiai.

"Muslim, pak," jawab Pak Polisi.

"Muslim macam apa kamu tidak percaya peci?" Pak Kiai membentak.

Si anak gadis yang masih duduk di bangku sekolah pertama terlihat bingung. Ia masih duduk di motor. Sang ayah masih berbebat dengan Pak Polisi.

"Mana helm kamu?" Tanya Pak Kiai kepada Pak Polisi. "Kalau kamu tidak percaya peci ini bisa melindungi kepala kamu, kita buktikan saja!"

Pak Kiai lantas mencabut peci di kepalanya, dan membantingnya ke tanah. "Lihat, peci ini tidak rusak kan?" Coba banting helm kamu sekarang! Rusak apa tidak?"

***

Cerita itu pernah saya dengan dari teman saya. Ia menceritakan dengan gelak tawa luar biasa. Kok, ada ya Kiai lucu begitu, katanya.

Rupanya yang membuat ia begitu geli tertawa adalah karena peci Pak Kiai yang mau diadu dengan helm Pak Polisi.

Sekilas memang agak sedikit lucu. Terang saja, peci tidak akan bisa rusak kalau dibanting. Berbeda dengan helm. Tetapi, apa yang diyakini Pak Kiai juga belum tentu salah.

Begini. Pak Kiai punya kebenaran dan keyakinannya sendiri. Ia yakin kalau peci bisa melindungi dirinya dari berbagai macam marabahaya. Karenanya ia mepertahankan keyakinannya itu, yang mungkin berasaskan syariat kepercayannya. Itu sah-sah saja.

Tapi Pak Kiai menjadi salah, karena ia terlalu "menuhankan" pecinya. Sehingga ia mengabaikan aturan-aturan yang ada dan berlaku. Di sini artinya ia menyalahi aturan berkendara. Yang di mana juga menyalahi anjuran Tuhan (red: berbuat baik dan mematuhi aturan).

Contoh lainnya kurang lebih begini. Ketika saya akan melakukan lompatan dari pesawat atau terjun payung, yang saya butuhkan adalah sebuah parasut. Karena saya percaya bahwa parasut akan melindungi saya dari kematian.

Mempercayakan keselamatan terhadap parasut, bukan berarti saya menuhankan parasut. Justru saya percaya hukum Tuhan, bahwa ketika terjun payung parasut dapat menyelamatkan saya.

Di sisi lain kita juga tidak boleh terjebak. Bisa saja Pak Kiai meski hanya menggunakan peci ia justru selalu selamat dan ketika menggunakan helm ia justru celaka. Atau kita yang terjun payung tanpa parasut bisa mendarat dengan selamat.

Ah, sudahlah. Hidup itu memang membingungkan. Lagi pula kita tidak pernah bisa kuasa atas hidup kita.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun