Mohon tunggu...
Ibnu AtsirZuhri
Ibnu AtsirZuhri Mohon Tunggu... Asisten Pribadi - Ibnu Atsir Zuhri

tugas KKN-DR 76

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Di Masa New Normal, Apa yang Menyebabkan Pendidikan Masih Diliburkan Sedangkan Mall dan Tempat Wisata Dibuka?

7 Agustus 2020   17:24 Diperbarui: 7 Agustus 2020   17:25 550
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Saat ini dunia digemparkan dengan suatu virus yang bernama Corona atau yang dikenal dengan istilah Covid-19 (Corona Virus Diseases-19). Virus yang berasal dari Kota Wuhan Provinsi Hubel Tiongkok ini hampir menyebar diseluruh penjuru dunia sehingga virus ini disebut sebagai Pandemi Global. Ratusan ribu jiwa manusia terpapar virus ini, bahkan tak sedikit memakan korban jiwa. Tercatat negara-negara yang memiliki kasus tinggi terpapar virus corona ini adalah Italia, Tiongkok, Spanyol, Amerika Serikat, dan Iran. Penularan yang dilakukan oleh virus corona ini sangat cepat dan sulitnya mendeteksi virus ini karena masa inkubasi yang terjadi kurang lebih selama 2 minggu.

Penularan lewat mata, tangan dan lainnya tidak bisa dihindari karena kegiatan sosial yang harus terus dilakukan setiap harinya. Dimana korban semakin bertambah setiap harinya dan obat penawarnya yang tak kunjung ditemukan menjadi satu alasan mengapa banyak penderita yang tidak bisa diselamatkan. Rumah sakit yang kekurangan Alat Pelindung Diri (APD) untuk paramedis pun menjadi sebab yang tidak bisa diabaikan, sehingga banyak paramedis yang juga terpapar virus corona dan akhirnya tak bisa diselamatkan.

Banyak sekali yang mengungkapkan pertanyaan di masa new normal seperti ini mengapa sekolah diliburkan sedangkan Mall, Supermarket dan tempat wisata sudah di buka. Salah satu contohnya itu seperti di Medan, kami bingung mengapa hanya pendidikan saja yang harus diliburkan sedangkan yang lainnya dibuka seperti Mall, Tempat Wisada dan lainnya. Baru-baru ini disosial media lagi trending banyak masyarakat yang mengunjungi tempat-tempat wisata alam. Kalau kita lihat dari peristiwa tersebut, bukannya ini akan mengakibatkan seseorang akan mudah terkena dampak covid 19. Dan kalau kami pikir lebih besar dampak seseorang terkena covid 19 di tempat yang bebas seperti tempat wisata alam dibandingkan dengan di Sekolah/Universitas.

Kemudian soal pendidikan yang saat ini belom diaktifkan, kejenuhan anak-anak terlalu lama berada di rumah dan keluhan orang tua yang merasa kesulitan mendidik anak di rumah menjadi alasan paling banyak di ungkapkan, alasan kesibukan orang tua pun menjadi masalah. Di rumah orang tua tidak sepenuhnya bisa mengajar dan mendampingi anak-anak untuk belajar.

Banyak orangtua harus mengakui bahwa menjelaskan berbagai mata pelajaran dan menemani anak-anak mengerjakan tugas-tugas sekolah tidak semudah yang dibayangkan. Kerja keras para guru dan dosen selama ini sungguh patut diapresiasi. Di tengah pembatasan sosial akibat wabah covid-19, kita harus tetap semangat mengejar dan mengajar ilmu pengetahuan. Hampir tidak ada yang menyangka, keadaan pendidikan akan berubah drastis akibat pandemi covid 19. Konsep sekolah di rumah (home-schooling) tidak pernah menjadi arus utama dalam wacana pendidikan nasional. Meski makin populer, penerapan pembelajaran online (online learning) selama ini juga terbatas pada Universitas Terbuka, program kuliah bagi karyawan di sejumlah universitas dan kursus-kursus tambahan (online courses).

Sosial Distancing menjadi alternatif yang dilakukan oleh Pemerintah. Tentu saja kebijakan tersebut berdampak buruk bagi pertumbuhan dan kemajuan dalam berbagai bidang kehidupan, masalah ekonomi yang paling terasa dampaknya karena menyulitkan masyarakat dalam memenuhi kebutuhan primer.
Kesulitan juga dirasakan dalam bidang pendidikan. Keputusan pemerintah yang meliburkan dan mengalihkan proses belajar mengajar dirumah (sistem daring) membuat kelimpungan banyak pihak.

Ketidaksiapan sekolah pun menjadi alasan utama kekacauan ini. Sistem pendidikan online pun tidak mudah, di samping disiplin pribadi untuk belajar secara mandiri, ada fasilitas dan sumber daya yang mesti disediakan. Kami bersyukur masih mampu memfasilitasi pendidikan jarak jauh, tapi kami mendengar keluhan banyak orangtua, murid dan juga tenaga pendidik yang kesulitan, baik dalam menyediakan perangkat belajar seperti ponsel dan laptop maupun pulsa untuk koneksi internet. Dengan kata lain, sistem pembelajaran online ini berpotensi membuat kesenjangan sosial ekonomi yang selama ini terjadi, menjadi makin melebar saat pandemi. Kemenaker (20/4) mencatat sudah lebih dari 2 juta buruh dan pekerja formal-informal yang dirumahkan atau diPHK. Dengan kondisi seperti ini, banyak orangtua kesulitan menyediakan kesempatan pendidikan yang optimal bagi anak-anak mereka.

Sejak kebijakan belajar dari rumah diterapkan secara nasional mulai tanggal 16 Maret 2020, muncul indikasi naiknya angka putus sekolah di berbagai tempat. Mulai dari Papua, Maluku Utara, hingga Jakarta. Ini daerah-daerah yang tergolong zona merah dalam penyebaran wabah. Angka putus sekolah dari kawasan perdesaan juga diperkirakan akan naik. Dalam jangka panjang, anak-anak yang putus sekolah ini memiliki kemungkinan lebih besar untuk menganggur, baik secara tertutup atau terbuka. Ini bukan hanya secara akumulatif akan menurunkan produktivitas nasional, tapi membuat mereka terjebak dalam lingkaran tidak berujung (vicious circle) kemiskinan struktural.

Di sisi lain, pemerintah juga perlu memperhatikan nasib para guru, terutama guru-guru swasta maupun guru honorer (termasuk guru tidak tetap), yang masing-masing berjumlah hampir satu juta orang. Ketiadaan proses belajar mengajar di sekolah, secara langsung dan tidak langsung, menurunkan pendapatan  mereka.

Pendidikan merupakan kunci pembangunan sumber daya manusia. Kualitas sumber daya manusia merupakan kunci terwujudnya Indonesia Emas yang adil dan sejahtera, aman dan damai, serta maju dan mendunia. Pendidikan yang akan menentukan kemana bangsa ini akan menyongsong masa depannya, apakah menjadi bangsa besar yang beradab, cerdas dan siap beradaptasi dengan perubahan zaman. Atau, menjadi raksasa sakit, yang tenggelam dalam berbagai persoalannya sendiri. Kalah dalam persaingan global, dan dan bahkan diacak-acak berbagai kepentingan jangka pendek, baik dari dalam maupun luar negeri.Sejak dulu, berbagai upaya reformasi pendidikan telah kita tempuh. Termasuk alokasi anggaran pendidikan 20% dari APBN pada era pemerintahan Presiden SBY (2004-2014). Tapi, masalah pendidikan nasional masih terkendala dua persoalan mendasar, yakni soal akses dan kualitas pendidikan.

Dari sisi akses, berbagai indikator seperti angka partisipasi murni, lama bersekolah, hingga tingkat putus sekolah, masih membutuhkan kerja keras perbaikan. Meski, kita tahu kebijakan sekolah gratis, program beasiswa, hingga penyelesaian problem jarak dan akses menuju sekolah tengah diusahakan. Indikator rata-rata lama sekolah (RLS) nasional yang baru 8,2 tahun atau setara SLTP kelas 2 (BPS, 2018) menunjukkan persoalan kita di bidang pendidikan masih banyak.Terkait kualitas, kita juga masih harus meningkatkan kualitas tenaga pengajar, kurikulum pendidikan, hingga tingkat daya saing pendidikan nasional. Kita perlu introspeksi, mengapa lulusan SMA/SMK dan perguruan tinggi justru menjadi penyuplai tingkat pengangguran. Mari kita perbaiki strategi link and match antara dunia pendidikan dan dunia lapangan kerja.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun