Pemikiran pendidikan Islam klasik tidak pernah kehilangan relevansinya dalam membentuk arah pendidikan modern yang berkarakter. Salah satu tokoh yang memiliki kontribusi besar dalam khazanah pendidikan Islam adalah Burhānuddīn Al-Zarnuji, seorang ulama besar abad ke-12 M yang dikenal lewat karya monumentalnya Ta’lim al-Muta’allim Ṭarīq at-Ta‘allum. Karya ini bukan sekadar buku etika belajar, tetapi panduan filosofis tentang bagaimana manusia menuntut ilmu secara benar dengan memadukan akal, moral, dan spiritualitas.
Pemikiran Al-Zarnuji menjadi semakin penting ketika dunia pendidikan modern kini dihadapkan pada krisis nilai, degradasi moral, dan dominasi rasionalitas instrumental yang mengabaikan aspek adab. Pendidikan seolah tereduksi menjadi proses transfer informasi dan keterampilan teknis semata, bukan pembentukan manusia berakhlak dan berjiwa merdeka. Dalam konteks ini, gagasan Al-Zarnuji tampil sebagai solusi kultural dan moral yang menawarkan reorientasi nilai pendidikan Islam.
1. Latar dan Konteks Pemikiran Al-Zarnuji
Al-Zarnuji hidup di masa keemasan peradaban Islam yang ditandai dengan maraknya pusat-pusat keilmuan seperti madrasah dan pesantren. Namun, ia juga menyaksikan gejala menurunnya semangat keilmuan dan kemerosotan moral sebagian pelajar. Dalam pengantar kitab Ta’lim al-Muta’allim, ia menulis bahwa banyak penuntut ilmu yang rajin belajar tetapi tidak memperoleh manfaat dari ilmunya karena “mereka salah jalan dan meninggalkan syarat-syarat menuntut ilmu.” Pernyataan ini menjadi dasar refleksinya bahwa ilmu tanpa adab hanyalah kesia-siaan.
Menurut artikel Ali Muhtarom dkk. (2024) dalam Jurnal Kajian Ilmu Pendidikan (Tarbiyatul Misbah), kitab Al-Zarnuji disusun sebagai reaksi terhadap perubahan relasi guru dan murid pada masa itu. Ia melihat adanya kecenderungan belajar tanpa menghormati guru dan mengabaikan nilai keberkahan. Karena itu, Ta’lim al-Muta’allim bukan hanya karya etis, melainkan gerakan pembaruan moral dalam sistem pendidikan Islam klasik.
Bagi Al-Zarnuji, pendidikan harus menjadi sarana penyucian jiwa (tazkiyah al-nafs) dan penguatan akhlak. Nilai ini sejalan dengan prinsip tarbiyah dalam Islam, yaitu menumbuhkan potensi manusia menuju kesempurnaan akhlak. Dengan demikian, pendidikan tidak boleh sekadar mengembangkan aspek intelektual, tetapi juga spiritual dan emosional.
2. Hakikat Ilmu dan Tujuan Pendidikan
Salah satu pilar utama dalam pemikiran Al-Zarnuji adalah pandangan bahwa ilmu adalah sarana mendekatkan diri kepada Allah, bukan alat untuk mencari kekuasaan atau status sosial. Ilmu harus dikejar karena Allah (li wajhillah), sebab ilmu yang tidak disertai keikhlasan akan kehilangan berkah dan manfaatnya.
Konsep ini menegaskan bahwa tujuan akhir pendidikan adalah al-sa‘ādah (kebahagiaan) yang hakiki, yaitu kebahagiaan spiritual yang berakar pada pengetahuan dan ketaatan. Dalam pandangannya, ilmu harus menghasilkan amal saleh; seseorang yang berilmu tetapi tidak beramal justru akan merusak tatanan moral masyarakat.
Pemikiran ini sangat relevan dalam konteks pendidikan modern yang cenderung berorientasi pada utilitarianisme. ilmu dicari demi karier, kekuasaan, dan pengakuan sosial. Dalam pandangan Al-Zarnuji, paradigma seperti itu menyalahi fitrah pendidikan Islam, sebab ilmu yang sejati harus melahirkan keikhlasan, kerendahan hati, dan kesadaran moral.
3. Hubungan Guru dan Murid sebagai Inti Pendidikan