Mohon tunggu...
ian sancin
ian sancin Mohon Tunggu... Seniman

Penulis Novel Sejarah Yin Galema.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Menggalorkan Tanah Adat Urang Belitong

17 Mei 2025   03:50 Diperbarui: 17 Mei 2025   03:34 593
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Di peta Geologi  oleh de Groot, tampak jelas  tanah  yang dikuasai secara adat oleh Raja Belitong dan para Ngabehi (Sumber: foto dari Buku Kerajaan Ba

MENGGALORKAN TANAH ADAT URANG BELITONG

                                                                                                    Oleh Ian Sancin

 

 

              Tanah adat memiliki aturan (adat) yang berlaku melingkupi tanah yang dikuasai oleh orang orang atau Masyarakat yang menempati tanah itu. Aturan tersebut tentulah berbeda satu sama lain karena setiap komunitas atau masyarakat di wilayah yang mendiami atau menempati memiliki tradisinya (aturan yang menjadi kebiasaan). Belitong adalah pulau yang didiami oleh masyarakatnya sejak lama telah pula memiliki aturan tanah adatnya secara tersendiri.

              Aturan (adat) yang sudah turun temurun di Belitong itu masih meninggalkan tradisinya hingga ke saat ini dan itu takkan hilang sampai kapan pun. Meskipun kepentingan ekonomi penduduk dan negara telah banyak menghilangkan wujud fisiknya, misalnya perambahan yang merusak hutan dan sungai, usaha perkebunan, usaha penambangan, dan lain sebagainya.

              Tanah tanah adat di Belitong secara keseluruhannnya adalah wilayah yang mencakupi se-Pulau Belitong sebagai sebuah wilayah berdaulat yang secara hirarki dilindungi mulai dari penguasa tertinggi hingga yang penguasa terbawah di wilayah kependudukan masyarakatnya. Itu sudah ada sejak masa Kerajaan di Belitong. Dalam catatan sejarahnya, Belitong dikuasai beberapa abad oleh dinasti Kerajaan Belitong yang bermula dari Kejaan Balok 1618 dengan membawahi empat wilayah kerajan kecil lainnya yaitu wilayah Ngabehi Badau, Ngabehi Belantu, Ngabehi Sijok, Ngabehi Buding.

              Letak wilayah kekuasaan para penguasa tanah adat tersebut terpetakan dalam "peta geologi" yang dibuat oleh Insinyur pertambangan pemerintah Hindia Belanda bernama de Groot pada 1851. Kepentingan pembuatan peta wilayah tersebut tentulah buat kepentingan pemerintah Hindia Belanda atas kandungan bahan tambang di tahan wilayah tersebut.

              Tanah adat di tiap wilayah pemetaan geologi tersebut tentulah tak semua tanah penguasanya ditulis secara rinci hingga ke bawahnya, di situ hanya terpetakan atau dituliskan tanah wilayah dibawah kekuasaan yang lebih tinggi dari penguasa di bawahnya. Sesungguhnya di tiap wilayah tanah penguasa itu ada penguasa lainnya yang berdomisili di situ yang tersusun sebagai berikut; Depati, Ngabehi, Batin, Kepalak Kampong, kepalak Kelekak, Kepalak Kubok, Kepalak Bebak, Kepalak Parong.

              Di tiap tiap wilayah pemukiman itu ada seorang pengatur atau pengemban tugas adat (aturan)  yaitu Dukon Kampong (Dukun Kampung). Dukon kampong bisa saja merangkap sebagai kepala kelekak, kepala kampong, juga kepala Kubok. Namun ada juga depati yang pernah merangkap sebagai dukon maka yang bersangkan dukenal sebagai "raja dukon", beliau adalah Ki Mending alias Ki Agus Abdullah alias Cakraningrat II (1661-1696).

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun