Mohon tunggu...
IAN PERMANA WAHYU
IAN PERMANA WAHYU Mohon Tunggu... Dosen

HR and Bussiness Dev Practioner, Lecturer

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan

Sekilas Kebijakan Industri Bambu Nasional

3 September 2024   16:20 Diperbarui: 3 September 2024   16:24 112
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Birokrasi. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/GARRY LOTULUNG

KEBIJAKAN INDUSTRI BAMBU NASIONAL


A.Bambu dalam Kebijakan Lingkungan Hidup dan Kehutanan Nasional
1.Bambu dalam Undang-Undang Kehutanan
Dalam nomenklatur Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan, kegiatan hilirisasi hasil hutan diwakilkan dengan istilah 'peningkatan nilai tambah' hasil hutan. Hasil hutan diartikan sebagai komoditi yang dapat diubah menjadi hasil olahan untuk mendapatkan nilai tambah, selain dari membuka peluang kesempatan kerja dan kesempatan berusaha. Penjelasan Umum undang-undang ini turut menegaskan peran penting sumber daya hutan dalam penyediaan bahan baku industri.
Peraturan Menteri Kehutanan Nomor P.35/Menhut-II/2007 tentang Hasil Hutan Bukan Kayu memasukkan bambu ke dalam daftar komoditi Hasil Hutan Bukan Kayu (HHBK). HHBK merupakan hasil hutan hayati baik nabati maupun hewani beserta produk turunannya dan budidaya kecuali kayu yang berasal dari hutan.
Undang-Undang Kehutanan mensyaratkan pengolahan hasil hutan untuk tidak mengakibatkan rusaknya hutan sebagai sumber bahan baku industri. Dituntut keseimbangan antara kemampuan penyediaan bahan baku dan industri pengolahannya.
Pembentuk undang-undang pun telah mendorong dilakukannya penelitian dan pengembangan kehutanan dalam pengurusan hutan. Salah satu tujuan dari penelitian dan pengembangan itu adalah untuk meningkatkan nilai tambah hasil hutan.

2.Bambu dalam Kebijakan Penurunan Emisi CO2 Nasional
Pemerintah Indonesia telah mencanangkan target penurunan emisi gas rumah kaca (GRK) sebesar 26% di tahun 2020; dan sampai dengan 41% apabila terdapat dukungan internasional---dibandingkan terhadap skenario business as usual di tahun 2020. Sejak pencanangan di tahun 2010 itu, Indonesia telah mengeluarkan serangkaian perangkat hukum dan kebijakan, termasuk Rencana Aksi Nasional Penurunan Emisi GRK sebagaimana dituangkan dalam Peraturan Presiden Nomor 61 Tahun 2011, dan inventarisasi GRK melalui Peraturan Presiden Nomor 71 Tahun 2011.
Pasca-2020, Indonesia merencanakan untuk meningkatkan target melebihi komitmen. Mengacu pada kajian terbaru mengenai tingkat emisi GRK, Indonesia telah menetapkan target unconditional sebesar 31,89% dan target conditional sampai dengan 43,20% dibandingkan skenario business as usual di tahun 2030 (KLHK, 2024). Untuk mencapai target tersebut, pemerintah mengeluarkan Nationally Determined Contribution (NDC) Indonesia. Melalui NDC, pemerintah menguraikan transisi Indonesia menuju masa depan yang rendah emisi dan berketahanan iklim.
Lebih lanjut, telah diterbitkan Peraturan Presiden Nomor 98 Tahun 2021 tentang Penyelenggaraan Nilai Ekonomi Karbon untuk Pencapaian Target Kontribusi yang Ditetapkan secara Nasional dan Pengendalian Emisi Gas Rumah Kaca dalam Pembangunan Nasional. Peraturan presiden ini, khususnya Pasal 3, menjelaskan bahwa sektor kehutanan merupakan pendukung utama dalam pengendalian Emisi GRK untuk menjadi penyimpan/penguatan karbon pada tahun 2030 dengan pendekatan carbon net sink dari sektor kehutanan, dan penggunaan lahan lainnya pada tahun 2030 (Indonesia Forest and Other Land Use Net Sink 2030).
Beberapa penelitian ilmiah membuktikan kemampuan bambu sebagai penyerap karbon yang efektif. Pada Konferensi Perubahan Iklim 2017 diungkapkan pula bahwa pemanfaatan tanaman bambu dapat menjadi salah satu solusi dalam pengendalian perubahan iklim. Dalam perhitungan, satu hektar tanaman bambu mampu menyerap 50 ton GRK setiap tahunnya. Upaya mitigasi perubahan iklim berbasis bambu dapat dilakukan dengan tiga model, yaitu: penyerapan karbon biomassa bambu, penyimpanan karbon produk bambu, dan proyek karbon bambu.

B.Bambu dalam Kebijakan Perindustrian Nasional
1.Bambu dalam Undang-Undang Perindustrian
Dalam nomenklatur Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2014 tentang Perindustrian, kegiatan hilirisasi bambu diatur dengan istilah 'peningkatan nilai tambah' bambu. Bambu sebagai hasil hutan bukan kayu merupakan sumber daya alam bersifat hayati. Pasal 31 mengatur bahwa, "Dalam rangka peningkatan nilai tambah sumber daya alam, Pemerintah mendorong pengembangan industri pengolahan di dalam negeri."
Peningkatan nilai tambah juga menjadi salah satu obyek perhatian dalam perwilayahan industri yang dilakukan pemerintah guna percepatan penyebaran dan pemerataan pembangunan industri ke seluruh wilayah NKRI. Peningkatan nilai tambah dilakukan sepanjang rantai nilai. Rantai nilai (value chain) yang diatur dalam Pasal 14 undang-undang ini adalah serangkaian urutan kegiatan utama dan kegiatan pendukung yang dilakukan oleh perusahaan industri untuk mengubah input/bahan baku menjadi output/barang jadi yang memiliki nilai tambah bagi konsumen.
Melalui Pasal 33, Undang-Undang Perindustrian mengamanatkan kepada Pemerintah untuk memberikan jaminan ketersediaan dan penyaluran sumber daya alam bagi industri dalam negeri. Pengaturan pemanfaatan ini dilakukan melalui pengendalian ekspor atas bahan baku yang berasal dari sumber daya alam dengan mengutamakan kebutuhan dalam negeri. Ketentuan ini juga berlaku atas bambu sebagai sumber daya alam hayati hasil hutan. Pasal 7 dan 9 Peraturan Pemerintah Nomor 28 Tahun 2021 tentang Penyelenggaraan Bidang Perindustrian menegaskan jaminan tersebut. Peraturan Pemerintah ini mengatur bahwa Pemerintah Pusat dapat melakukan pembatasan ekspor untuk menjamin ketersediaan bahan baku dan/atau bahan penolong.
 
Mengamati data yang ditampilkan oleh UN ComTrade mengenai struktur perdagangan global produk bambu untuk penggunaan sehari-hari (bamboo articles of daily use) menunjukkan kebutuhan pasar yang cukup besar. Produk bambu untuk penggunaan sehari-hari ini juga termasuk sebagai produk industri barang jadi dalam negeri yang didorong untuk ikut bersaing dan memenuhi pasar internasional. Namun, Indonesia masih menjadi salah satu negara pengimpor produk tersebut dengan nilai rata-rata di atas 10 juta US Dolar (INBAR, 2023). Demikian pula untuk bamboo furniture, khususnya untuk kelompok produk tempat duduk dan furnitur dari bambu (HS 940152 dan HS 940382), mengalami kenaikan nilai ekspor yang berlomba dengan kenaikan tren impor. Fluktuasi nilai ekspor terjadi di lima tahun terakhir, dengan penurunan di tahun 2022 (Kemenperin, 2023).
Ekspor bahan baku hanya dimungkinkan jika kebutuhan industri dalam negeri sudah tercukupi. Penjelasan Pasal 33 Undang-Undang Perindustrian menegaskan hal tersebut; didukung oleh Peraturan Pemerintah tentang Penyelenggaraan Bidang Perindustrian tahun 2021. Oleh karena itu, untuk mendukung pemenuhan bahan baku industri dalam negeri dan meningkatkan daya saing industri, ketentuan pasal-pasal tersebut cukup kuat untuk melarang ekspor bambu dalam bentuk bahan baku.

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun