Mohon tunggu...
Ian Hidayat
Ian Hidayat Mohon Tunggu... Lainnya - Guru

Praktisi Pendidikan, Editor Lepas dan Penulis

Selanjutnya

Tutup

Politik

Cinta Segitiga: Covid-19, Pilkada Serentak, dan Omnibus Law

10 Oktober 2020   06:01 Diperbarui: 10 Oktober 2020   07:14 210
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Saat ini, masyarakat dunia sedang diterpa musibah yaitu dengan tersebarnya Covid-19 (Corona Virus Disease), melansir data dari laman Kompas.com, hingga Senin 5/10/2020) total kasus Covid-19 di dunia terkonfirmasi sebanyak 35,38 juta kasus. Dari jumlah tersebut, sebanyak 26,6 juta pasien telah sembuh, dan 1 juta orang meninggal dunia. Kasus aktif hingga saat ini tercatat sebanyak 7,7 juta dengan rincian 7,6 juta pasien dengan kondisi ringan dan 66.421 dalam kondisi serius.

Penulis kembali melansir data dari Kompas.com, hingga Jumat (9/10/2020) di Indonesia sendiri telah terhitung jumlah pasien pasien yang terkonfirmasi saat ini menjadi 320.564 orang. Sedangkan untuk kasus sembuh menjadi 244.060 orang. Namun, pasien yang meninggal dunia karena infeksi Covid-19 kini jumlahnya menjadi 11.580 orang.

Seperti yang telah penulis paparkan sebelumnya, Indonesia saat ini masih dalam kondisi yang memprihatinkan, bagaimana tidak memprihatinkan, hal ini dikarena setiap harinya kasus COVID-19 terus bertambah. Permasalahan ini kembali mengkhawatirkan karena pada tanggal 9 Desember 2020 mendatang, pemerintah akan melaksanakan PILKADA serentak, tentu saja hal ini dikhawatirkan akan memunculkan cluster-cluster baru, dan tentu saja akan menimbulkan keresahan di kalangan masyarakat pada umumnya.

Melansir data dari laman nasional.kompas.id, Tercatat Total daerah yang akan melaksanakan pemilihan kepala daerah serentak tahun 2020 sebanyak 270 daerah dengan rincian 9 provinsi, 224 kabupaten, dan 37 kota. Dan dari beberapa pasangan calon, ada yang terkonfirmasi Covid-19. Lebih dari itu ada beberapa anggota KPU yang terkonfirmasi Covid-19, dan beberapa waktu lalu Ketua KPU RI sendiri yaitu Arif Budiman telah terkonfirmasi Covid-19. Hal ini tentu saja sangat terlihat sangat dipaksakan, karena semestinya Pilkada Serentak 2020 ini bisa saja dilakukan penundaan hingga situasi dan kondisi sudah benar-benar dalam keadaan yang aman.

Akhirnya, penulis melihat adanya suatu keganjilan yang dilakukan oleh pemerintah saat ini. Pada satu sisi para pejabat selalu berkata untuk memutus mata rantai Covid-19, tetapi di sisi lain mereka malah memutuskan dan memaksakan untuk tetap melaksanakan Pilkada Serentak 2020. Hal ini tentu saja menjadi kontradiktif, sebenarnya apa yang sedang dilakukan para pejabat di negeri ini?

Luhut Binsar Pandjaitan selaku Menko Maritim dan Investasi yang juga merangkap sebagai Wakil Ketua Komite Penanganan Covid-19 dan Pemulihan Ekonomi Nasional, dalam acara Mata Najwa dia meyakini bahwa Pilkada Serentak tidak akan menjadi cluster baru penyebaran Covid-19 dan dia pun mengatakan "Dengan kita memberi rambu-rambu jelas, aturan main yang jelas, ya mestinya bisa. Mestinya bisa. Saya yakin bisa," kata Luhut.

Penulis menanggapi pendapat Papa Luhut, bahwa benar dia bisa saja menginstruksikan jajarannya pada Komite Penanganan Covid-19 dan Pemulihan Ekonomi Nasional untuk bertindak secara tegas kepada calon-calon Kepala Daerah yang terbukti melakukan pelanggaran, namun apakah Papa Luhut bisa menjamin dan bertanggungjawab jika cluster baru muncul di lingkungan masyarakat yang disebabkan oleh banyak diantaranya awam akan protokoler kesehatan, bahkan cenderung apatis dikarenakan tidak adanya keseriusan dari pemerintah pusat maupun di beberapa daerah akan penanganan Covid-19. Apakah rakyat kembali akan dan terus selalu dikorbankan oleh kebijakan-kebijakan yang ada?

Oleh karena itu, penulis terus berpikir tentang situasi dan kondisi yang sedang terjadi pada saat ini. Apakah Covid-19 benar adanya? Penulis semakin ragu akan adanya Covid-19 dengan melihat perilaku para Pejabat. 

Jika memang Covid-19 itu ada, mengapa DPR RI dengan secara tergesa-gesa mengesahkan RUU Omnibus Law Cipta Kerja menjadi UU pada sidang Rapat Paripurna. Bukankah, DPR RI tahu akan resiko atau dampak yang ditimbulkan dari disahkannya RUU tersebut menjadi UU. Apakah DPR RI tidak memahami manajemen resiko? Dan ternyata terbukti, ribuan massa turun ke jalan untuk menyampaikan penolakan UU Omnibus Law Cipta Kerja.

Logical Fallacy yang dipertontonkan para pejabat dihadapan publik, akan menimbulkan banyak kerugian untuk negara ini. Seharusnya pejabat bisa lebih cerdas dalam memilih dan mengambil suatu keputusan. Untuk mengatur negara ini para pejabat jangan seperti bermain monopoly (baca: permainan yang terdapat di smartphone) hanya tinggal melempar dadu, lalu jalan dan membeli apapun yang mereka inginkan. Dan jika mereka masuk penjara, mereka hanya cukup menggunakan kartu "Keluar dari Penjara".

Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun