Mohon tunggu...
Mahéng
Mahéng Mohon Tunggu... Author

Mahéng menulis di berbagai platform. Di Kompasiana, ia belajar menguleni isu-isu berat dengan adonan humor, kadang matang, sesekali gosong, adakalanya garing, dan nggak jarang absurd, persis seperti hidupnya sendiri. Intip X/IG @iamaheng.

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud Pilihan

Ketika Menulis Dielu-elukan Bekerja untuk Keabadian, tapi Buku Disita Polisi dan Penulis Cuma Bisa Beli Kolor Thrift

22 September 2025   22:35 Diperbarui: 22 September 2025   22:46 23
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Tumpukan buku bekas di Terminal Buku, Pasar Modern BSD, Tangerang Selatan. Sumber: dokumentasi pribadi. 

Saya sudah lama mendeklarasikan diri sebagai pekerja teks komersial. Meskipun pekerjaannya banyak, teksnya sedikit, dan komersialnya hampir nggak ada, hahaha.

Waktu sedang ngulik novel saya yang belum selesai-selesai, saya lihat postingan Kompasiana: salah satu Kompasianer, Evridus Mangung, meninggal. Ribuan tulisannya masih hidup di sana. 

Saya bengong menatap layar, nggak tahu harus sedih karena jasadnya sudah tiada, atau bahagia karena kata-katanya abadi di Kompasiana.

Dan ini bikin saya bertanya-tanya: seberapa sering kita mendengar kalimat legendaris dari Pramoedya Ananta Toer, "Menulis adalah bekerja untuk keabadian"?

Menulis Abadi Itu Nyata, atau Sekadar Romantisme?

Mungkin sering, atau bahkan sering banget. Kalimat itu muncul di mana-mana, bikin kita merasa kalau pekerjaan menulis— terutama di Kompasiana, meski nggak selalu dapat K-Rewards—itu mulia.

Mungkin Pram sudah membayangkan, di masa depan, keabadian yang kita kejar ini harus berhadapan dengan pajak buku, penghasilan pas-pasan, bahkan penyitaan.

Sebab ia sendiri harus dibui karena menulis. 

Warisan Literasi Kompasianer: Tulisan yang Hidup Meski Penulis Tiada 

Belakangan, salah satu judul novelnya, Anak Semua Bangsa buku kedua dari seri Tetralogi Pulau Buru, menjadi salah satu dari 40 judul buku yang disita polisi di Bandung dan Surabaya.

Yang paling konyol, selain novel Pram, salah satu buku yang disita itu adalah karya filsuf kenamaan, Franz Magnis-Suseno, yang judulnya Pemikiran Karl Marx: Dari Sosialisme Utopis ke Perselisihan Revisionisme.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun