Saya sudah lama mendeklarasikan diri sebagai pekerja teks komersial. Meskipun pekerjaannya banyak, teksnya sedikit, dan komersialnya hampir nggak ada, hahaha.
Waktu sedang ngulik novel saya yang belum selesai-selesai, saya lihat postingan Kompasiana: salah satu Kompasianer, Evridus Mangung, meninggal. Ribuan tulisannya masih hidup di sana.Â
Saya bengong menatap layar, nggak tahu harus sedih karena jasadnya sudah tiada, atau bahagia karena kata-katanya abadi di Kompasiana.
Dan ini bikin saya bertanya-tanya: seberapa sering kita mendengar kalimat legendaris dari Pramoedya Ananta Toer, "Menulis adalah bekerja untuk keabadian"?
Menulis Abadi Itu Nyata, atau Sekadar Romantisme?
Mungkin sering, atau bahkan sering banget. Kalimat itu muncul di mana-mana, bikin kita merasa kalau pekerjaan menulis— terutama di Kompasiana, meski nggak selalu dapat K-Rewards—itu mulia.
Mungkin Pram sudah membayangkan, di masa depan, keabadian yang kita kejar ini harus berhadapan dengan pajak buku, penghasilan pas-pasan, bahkan penyitaan.
Sebab ia sendiri harus dibui karena menulis.Â
Warisan Literasi Kompasianer: Tulisan yang Hidup Meski Penulis TiadaÂ
Belakangan, salah satu judul novelnya, Anak Semua Bangsa buku kedua dari seri Tetralogi Pulau Buru, menjadi salah satu dari 40 judul buku yang disita polisi di Bandung dan Surabaya.
Yang paling konyol, selain novel Pram, salah satu buku yang disita itu adalah karya filsuf kenamaan, Franz Magnis-Suseno, yang judulnya Pemikiran Karl Marx: Dari Sosialisme Utopis ke Perselisihan Revisionisme.