Artikel ini membahas paradoks epistemologis dalam filsafat pendidikan yang dinyatakan melalui ungkapan klasik “semakin banyak kita tahu, maka semakin banyak kita tidak tahu.” Berangkat dari pandangan Socrates tentang kesadaran akan ketidaktahuan (Socratic ignorance), artikel ini menguraikan bahwa pengetahuan sejati tidak berhenti pada akumulasi informasi, tetapi pada kesadaran reflektif atas keterbatasan diri manusia dalam memahami realitas. Dalam konteks pendidikan modern, khususnya di era digital, kesadaran ini menuntun pada pembentukan karakter intelektual yang rendah hati, terbuka, dan kritis. Pendidikan sejati bukan sekadar proses transfer pengetahuan, melainkan transformasi kesadaran menuju kebijaksanaan.
Dalam dunia pendidikan, pengetahuan sering dianggap sebagai tujuan akhir. Kita belajar agar tahu, memahami agar menguasai, dan meneliti agar menemukan kebenaran. Namun, filsafat—sebagai refleksi terdalam dari kesadaran manusia—mengajarkan paradoks yang justru berlawanan: semakin banyak kita tahu, maka semakin banyak kita tidak tahu.
Ungkapan ini, yang berakar pada kebijaksanaan Socrates, bukanlah sekadar paradoks logis, tetapi cermin dari hakikat pengetahuan itu sendiri. Ia mengajak manusia untuk menyadari keterbatasan diri di tengah lautan pengetahuan yang tak bertepi.
Filsafat pendidikan, dalam konteks ini, berfungsi bukan untuk mengajarkan apa yang harus diketahui, melainkan menumbuhkan kesadaran mengapa dan bagaimana kita mengetahui sesuatu. Pendidikan menjadi ruang reflektif untuk memahami keterbatasan manusia dalam menggapai kebenaran, serta memupuk semangat terus mencari dalam kerendahan hati intelektual.
Akar Filosofis: Dari Socrates ke Ilmu Pengetahuan Modern
Socrates, melalui metode dialektiknya, menegaskan bahwa kebijaksanaan sejati dimulai dari kesadaran akan ketidaktahuan. “Aku tahu bahwa aku tidak tahu,” katanya, bukan sebagai pengakuan bodoh, melainkan sebagai bentuk tertinggi dari kebijaksanaan reflektif.
Dalam konteks pendidikan, kesadaran ini mengandung pesan mendalam: pengetahuan bukanlah titik akhir, melainkan proses tanpa henti. Setiap penemuan membuka tabir baru ketidaktahuan. Karl Popper (1963) menyebut bahwa ilmu pengetahuan tumbuh melalui conjectures and refutations—hipotesis yang selalu terbuka untuk disangkal dan diperbaiki. Dengan demikian, mengetahui berarti juga siap mengakui bahwa apa yang diketahui bersifat sementara dan dapat direvisi.
Dalam perspektif ini, tujuan pendidikan bukan menuntun siswa menjadi “paling tahu,” melainkan menjadi “paling sadar” akan luasnya yang belum diketahui. Kesadaran inilah yang menandai kebijaksanaan filosofis.
Dimensi Epistemologis: Pengetahuan sebagai Cermin Terbatas
Epistemologi dalam filsafat pendidikan menekankan bahwa pengetahuan manusia bersifat representasional dan terbatas. Pengetahuan ibarat cermin kecil yang memantulkan sebagian kecil realitas yang tak terhingga. Ketika pendidikan menambah isi cermin itu dengan lebih banyak pantulan, kita juga makin menyadari betapa besar bagian realitas yang tidak terpantul.
Paradoks ini mengajarkan bahwa belajar bukan sekadar memperluas wilayah tahu, melainkan memperdalam kesadaran akan keterbatasan pemahaman itu sendiri. Paulo Freire (1970) menegaskan bahwa pendidikan sejati adalah praxis—tindakan reflektif antara mengetahui dan menyadari diri dalam dunia.
Dengan demikian, pendidikan tidak boleh berhenti pada transfer of knowledge yang bersifat informatif, tetapi harus mencapai transformation of consciousness yang bersifat reflektif. Hanya dengan kesadaran inilah, manusia dapat menghindari arogansi intelektual dan menumbuhkan kerendahan hati epistemik.