Mohon tunggu...
I Ketut Aditya Prayoga
I Ketut Aditya Prayoga Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa Prodi Pariwisata Fakultas Ilmu Budaya Universitas Gadjah Mada

Tulisan saya ini tidak akan jauh dari penugasan kuliah yang sangat membantu kemampuan critical thinking saya

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Self-Labeling: Sisi Pragmatis dan Apatis Sertifikasi Ekowisata Indonesia Dulu, Kini, dan Nanti

4 Desember 2022   22:31 Diperbarui: 4 Desember 2022   22:46 1005
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Peringkat Keseluruhan The Travel & Tourism Development Index 2021. (Sumber: World Economic Forum)

- Peneliti senior bidang kepariwisataan Kementerian Pariwisata (Kemenpar), Roby Ardiwidjaja.

Namun dengan self-labeling, label tersebut akan terus melekat seiring waktu. Begitu praktis bukan?

Self-Labeling Ekowisata dan Apatis

Sedangkan menurut Piper dan Yeo (2011:291), ecolabeling dalam wisata merupakan bagian dari proses politik yang dapat menyamakan persepsi terhadap definisi, standar, dan program sertifikasi ekowisata. Tapi dengan melakukan self-labeling tentu dapat berujung pada inkonsisten dalam pelaksanaannya karena tidak ada pihak yang mengawasi dan mewajibkan. Padahal sertifikasi ekowisata dari lembaga resmi dapat membantu menguatkan kedudukan suatu destinasi wisata di mata wisatawan dan mempertahankan kekonsistenan pelaksanaan ekowisata guna mewujudkan pariwisata yang berkelanjutan.

Self-labeling ekowisata adalah momok besar bagi sertifikasi ekowisata yang kehadirannya sebagai bentuk apatis (tak peduli) akan sertifikasi dan akreditasi. Tak hanya itu, upaya self-labeling bisa menjadi faktor kurangnya upaya dari awal untuk mencari tahu sertifikasi ekowisata yang ada dan berupaya megikuti sertifikasi tersebut.

Sertifikasi Ekowisata Indonesia Dulu dan Kini

Sertifikat Desa Ekowisata Pancoh terkait Regulasi Ekowisata (Sumber: Dokumentasi Sefila Nesya Dewanti)
Sertifikat Desa Ekowisata Pancoh terkait Regulasi Ekowisata (Sumber: Dokumentasi Sefila Nesya Dewanti)

Mengangkat Desa Ekowisata Pancoh sebagai sebuah contoh destinasi wisata yang mengusung ekowisata sebagai model pariwisata sejak awal berdiri atas kerjasama dengan Lembaga Pengembangan Teknologi Pedesaan (LPTP) pasca erupsi gunung Merapi tepatnya tertanggal 14 Oktober 2012. Dasar dipilihnya ekowisata sebagai nomenklatur pengembangan pariwisata di Pancoh membuat branding yang ingin disampaikan kepada wisatawan mengarah pada pelestarian lingkungan dan sosial budaya (Endiyanti & Sarwadi, 2021).

Berdasarkan pemaparan dari Bu Menuk selaku pengelola Desa Ekowisata Pancoh, sertifikasi ekowisata di Desa Wisata Pancoh memang belum dilakukan pada lembaga khusus. Namun, untuk monitoring secara intensif dilakukan oleh Dinas Pariwisata Kabupaten Sleman. Sedangkan terkait dengan pelaksanaan evaluasi dan penilaian biasanya dilakukan saat Desa Ekowisata Pancoh yang biasanya dilakukan ketika mengikuti perlombaan. Selain itu, dari Analisis Ekowisata Pancoh oleh Jadesta Kemenparekraf yang menilai lima variabel yakni atraksi, amenitas, aksesibilitas, SDM dan masyarakat, serta kelembagaan, Desa Ekowisata Pancoh mendapatkan bobot nilai 60.00. Kini secara kategorisasi desa wisata, Desa Ekowisata Pancoh sudah berkategori mandiri.

Dari Desa Ekowisata Pancoh kita dapat belajar jika belum ada sertifikasi khusus ekowisata, maka upaya serupa dengan evaluasi, monitoring, dan penilaian dapat dilakukan menggaet pihak yang relevan.

Sertifikasi Ekowisata Indonesia di Masa Depan 

ECO Certification Program Australia (Sumber: https://www.ecotourism.org.au/)
ECO Certification Program Australia (Sumber: https://www.ecotourism.org.au/)

Berkaca dari lembaga sertifikasi ekowisata tertua di dunia yakni ECO Certification Program di Australia yang memiliki sistem membership sehingga individu atau organisasi dapat menjadi bagian komunitas pemimpin berskala nasionl (Australia). Komunitas ini membangun jaringan bagi anggotanya untuk berbagi praktik terbaik dan strategi peningkatan berkelanjutan. Selain itu, sertifikasi ini berdasarkan kriteria, proses, dan kepatuhan akreditasi pada Global Sustainable Tourism Council (GSTC), dan berhak menggunakan logo GSTC. 

Lalu bagaimana dengan Indonesia, fokus sertifikasi ekowisata yang belum terjamah sebenarnya bukan menjadi penghalang. Karena kini Indonesia telah memiliki Indonesia Sustainable Tourism Certification (ISTC). Namun, kembali lagi dipertanyakan apakah perlu adanya lembaga baik pemerintahan atau swasta yang memfasilitasi sertifikasi dengan fokus ekowisata di masa depan?

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun