Mohon tunggu...
Den Ciput
Den Ciput Mohon Tunggu... Penulis - I'm a writer...

Just Ordinary man, with the Xtra ordinary reason to life. And i'm noone without God.. http://www.youtube.com/c/ChannelMasCiput

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Perempuan "Ngeyel" dalam Transjakarta

15 September 2018   02:41 Diperbarui: 15 September 2018   03:15 820
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Ini cerita waktu naik busway. Waktu itu saya naik dari Shelter  Harmony, kearah Kebun Jeruk Kompas Gramedia jalan Panjang. Saya duduk manis, semanis senyum Luna Maya. Karena emang nggak begitu penuh.

Pas sampai Halte Rumah Sakit Sumber waras, naik lagi beberapa penumpang. Maka seat busway pun penuh. Bahkan di ruang wanita sampai pada berdiri. Di ruang pria sih walau seat penuh tapi masih ada tempat berdiri.

Pas di Shelter Grogol, masuk lagi beberapa penumpang.

Karena ruang wanita udah bener-bener penuh, maka beberapa penumpang wanita pun masuk ke ruang pria.

Saya lihat seorang Pria, senior Citizen, tertatih-tatih. Pas masuk tepat berdiri di depan saya. Sebagai warga negara yang baik, saya tahu betul hak dan kewajiban saya sebagai warga negara. Termasuk masalah pemanfaatan fasilitas umum.

Saya pun berdiri, memberi isyarat supaya si bapak duduk. Karena prioritas seat memang buat orang kayak bapak ini salah satunya.

Tapi...

Setttt....

Seorang wanita yang sedari tadi berdiri berdampingan dengan bapak itu dengan tenang 'menduduki' bangku itu dalam arti yang sebenernya. Tanpa basa-basi pula.

Saya hanya menghela nafas. Si bapak dengan lapang dada tersenyum kearah saya, " Biarken saja, Nak. Bapak masih kuat berdiri, " Ujarnya dengan logat dan ejaan Orba, orde baru.

Saya perhatikan si wanita muda itu. Dandanannya (maaf), menor. Semerbak aroma Parfumnya bikin pusing. Bukan aroma Channel, bukan pula Bvlgari. Entah dia isi ulang wewangian dimana. Dilehernya melingkar kalung, entah emas beneran atau imitasi. Ada liontin berbentuk huruf S. Mungkin inisial namanya, mungkin juga nickname dia. Mungkin juga inisial dari kata sableng, atau sedeng.

Dia mengenakan rok mini, dengan T-shirt bertuliskan ' Buronan mertua'.

Norak polll!

Pahanya mulus dari balik rok mininya. Hitem mulus maksudnya. Gayanya udah kayak menantu bekas penguasa orde baru. Pas bapak itu turun di halte Indosiar, beberapa penumpang ikut turun. Ada bangku kosong, saya pun duduk disampingnya.

Jadi pengin isengin dia, " Mbak baru di Jakarta?"

"Iya mas."

"Asalnya dari mana?" Ogut iseng banget kan.

"Dari Kediri. "

Glekkkk! Bongsoku dewe, cuk!

" Kedirinya mana?"

"Doho," Dia jawab singkat-singkat, seolah jaga image. Tapi demi Jupiter saya kaget.

"Joho?" Saya meyakinkan diri terhadap apa yang saya dengar. Mungkin dia bilang Joho, desa Joho kecamatan Wates. Karena saya tinggal tak jauh dari situ. Dan banyak teman di Joho.

" Doho, mas.." Tegasnya.

" Jalan Doho maksudnya??"

" Iya."

Saya pandangi wajahnya. Kok matanya nggak sipit. Kulitnya juga nggak putih, bahkan coklat mendekati hitam. Bukan hitam eksotis, tapi hitamnya mbak ini nggilani. Hiyyyy!

Saya tahu persis lingkungan Jalan Doho. Mayoritas penghuninya Etnis Tionghoa. Apakah mbak ini Hitachi, hitam tapi China. Ataukah kerja disitu.

" Saya juga orang Kediri kok, mbak. Tapi saya dari Desa. Saya aslinya Nglumbang. Kecamatannya sih Gurah, tapi karena lebih dekat ke Wates, maka sering saya bilang dari Wates," Ujar saya panjang lebar.

Saya lirik si mbak.

Dia terdiam.

"Sampean kerja di Jalan Doho?" Saya nuduh. Karena apa yang dikatakan adalah ketidakmungkinan absolut. Kalau pun mungkin, kemungkinannya kecil. Karena saya tahu daerah-daerah situ. Saya dulu pernah Sekokah di SMAK PETRA sebelum akhirnya pindah ke Malang. Banyak teman tinggal di jalan Doho. Teman-teman saya bening-bening.  Sebangsa Yonathan, Eri dan kakak beradik Linda dan Fery.

Dia gelagapan.

" Aku asline Ngadiluwih kok .." Gubrak!!!

Lhak tenan toh!

Ogut mulai menyusun rencana 'nyekolahin' nih bocah. Biar nggak malu-maluin cah Kediri. Takutnya kalau dia nih bertindak sembrono dan ngaku orang Kediri, kita-kita juga yang malu.

Lihat Sri Utami! Jiannn...amputtt tenan!

Tingkahnya sungguh memalukan.

" Nek nyang Busway sing di utamakan oleh nggon lungguh wong tuwek mbak. Sing nom, sing sik rosa kudu ngalah. Coro Jowone, the seat priority are for senior citizen. Koyo kejadian sing barusan kui, sampean kudune isin. Sik enom kok ngrebut kursi. Opo maneh aku ngasih kursi iki gawe bapak sepuh maeng, gudhuk gawe sampean, " Ucap saya.

(kalau di busway yang diutamakan dapat tempat duduk itu orang yang udah tua, manula, mbak. Dengan kata lain, the seat priority are for senior citizen. Harusnya Anda malu. Masih muda kok ngerebut tempat duduk. Apalagi saya kan ngasih tempat duduk buat bapak tadi. Bukan buat Anda)

" Ngunu ae kok sampean nesu. Podo mbayare kok!" Nah, kok galak dia ya. (gitu saja kok situ marah. Sama bayarnya kok)

Untung saya udah sampai depan Halte Kompas Gramedia. Saya beranjak pergi. Dan ada seorang bapak lagi yang duduk di depan saya ikutan turun sambil berucap, " Anggep ae wong gendheng mas. Aku sak jane kaet maeng yo nyawang kelakuane. Ra duwe isin!" Semprot bapak tadi, dan kami melangkah turun bareng.

(Anggap aja orang gila mas. Saya sebenernya udah merhatiin dari tadi. Gak tahu malu!)

Wong yo bongsone Sri Utami, wis salah, ngeyel. Bedhes elek, jiamput!!!

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun